Sabtu 25 Feb 2017 00:07 WIB

Komnas HAM Sebut Pemerintah Rampas Lahan Masyarakat Adat untuk PT Freeport

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Andi Nur Aminah
Komisioner Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai (tengah) memberi keterangan pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta (24/2). Komnasham menilai masyarakat suku Amungme yang menguasai tanah hukum adat
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Komisioner Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai (tengah) memberi keterangan pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta (24/2). Komnasham menilai masyarakat suku Amungme yang menguasai tanah hukum adat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Natalius Pigai menilai pemerintah Indonesia telah melakukan perampasan wilayah suku Amungme yang diperuntukan sebagai lahan pertambangan PT Freeport Indonesia. Ia menjelaskan, kesepakatan dalam kontrak karya antara pemerintah Indonesia dengan PT Freeport pada 7 April 1967 tersebut tak melibatkan masyarakat adat, termasuk Suku Amungme yang memiliki wilayah itu.

"Ini hasil penyelidikam resmi dan kami sudah kroscek meminta keterangan dari masing-masing, dan tidak pernah ada transaksi jual beli. Dengan demikian, ini rampasan tanah... Pemerintah Indonesia dan PT Freeport telah melakukan penguasaan atau perampasan lahan di wilayah hukum adat Amungsa," jelas Natalius dalam konferensi pers di kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (24/2). 

Ia mengatakan, suku Amungme baru melakukan perundingan dan penandatanganan perjanjian pada 8 Januari 1974 dengan PT Freeport Indonesia di bawah pengawasan pemerintah Indonesia. Saat Kontrak Karya, Papua belum resmi sebagai bagian dari NKRI, sebab status Papua masih di bawah pengawasan PBB melalui UNTEA. Papua sendiri resmi masuk NKRI pada 1 Mei 1969.

Menurut Natalius, meskipun PT Freeport telah memberikan sejumlah bentuk partisipasi guna mendukung kesejahteraan masyarakat, namun hal itu tidak sebanding dengan kerugian yang dialami oleh masyarakat suku Amungme. Selain itu, program kesejahteraan dari PT Freeport disebutnya merupakan kewajiban dari setiap perusahaan untuk memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar, bukan sebagai bentuk ganti rugi kepada masyarakat.

Ia mengatakan, selama ini kehadiran PT Freeport hanya memberikan manfaat finansial terhadap pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari komposisi pemegang saham PT Freeport Indonesia, yakni 9,36 persen dimiliki oleh pemerintah RI, 9,36 persen dimiliki PT Indocopper Investama, dan 81,28 persen dimiliki oleh Freeport-McMoran Copper&Gold. 

Karena itu, Komnas HAM mendesak PT Freeport dan pemerintah untuk memberikan kompensasi atau ganti rugi kepada masyarakat adat suku Amungme dengan memberikan saham PT Freeport.

"Dalam pembagian saham tersebut tidak ada saham untuk hak ulayat masyarakat adat, termasuk suku Amungme yang merupakan pemilik lahan," kata dia. 

"Jadi Komnas HAM menginginkan masyarakat dapat apa di dalam pasal itu. Minimal ada satu pasal yang menyatakan adat berhak memperoleh saham sekian persen," tambahnya. 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement