Rabu 22 Feb 2017 08:45 WIB

Soal Freeport, Kadin: Sengketa Korporasi dan Pemerintah Hal Biasa

Rep: Frederikus Bata/ Red: Nur Aini
Ratusan karyawan PT Freeport Indonesia berdemonstrasi di Kantor Bupati Mimika, Papua, Jumat (17/2).
Foto: Antara/Vembri Waluyas
Ratusan karyawan PT Freeport Indonesia berdemonstrasi di Kantor Bupati Mimika, Papua, Jumat (17/2).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Wilayah Indonesia Timur berharap pemerintah mengelola isu PT Freeport dengan baik. Hal ini agar memanasnya hubungan PT Freeport Indonesia dengan pemerintah tidak menjadi kontra produktif dan tidak terukur.

“Isu PT Freeport ini harus dikelola dengan baik, terukur dengan target yang jelas,”  ujar Wakil Ketua Umum Kadin Kawasan Timur Indonesia H.Andi Rukman Karumpa lewat siaran pers di Jakarta,  Rabu (22/2).

 

Andi mengatakan, gejolak antara negara dan korporasi besar seperti Freeport lumrah terjadi dimana-mana. Dia mencontohkan Aramco dengan pemerintah Saudi Arabia. Kemudian, Aramco jatuh ke pangkuan pemerintah Saudi. “Sengketa kontrak dengan MNC (Multi Nasional Company) ini hal biasa. Tapi harus ada target yang terukur. Gejolak itu di-manage sehingga bisa lebih produktif dalam jangka panjang atau jangka pendek,” ujarnya.

 

Andi menuturkan, pihaknya mendukung ketegasan pemerintah kepada PT Freeport. Sebab selama ini, Freeport mengulur-ulur waktu membangun smelter di dalam negeri. Freeport juga terkesan berusaha selalu mendikte pemerintah. “Dia ketemu Menteri Jonan yang keras kepala dan tidak mau didikte,”  ujar Andi.

 

Namun ia mengingatkan agar isu ini dikelola dengan baik. Hal ini karena, puluhan ribu pekerja tambang sudah dirumahkan. Tak hanya itu, jika ini terus berlangsung perekonomian di Papua akan ikut terguncang. Sebab, lebih dari 90 persen produk domestik bruto regional (PDRB) Kabupaten Mimika, sekitar 37 persen PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Provinsi Papua berasal dari Freeport.”Saya kira dampak-dampak ekonominya dan politik lokal juga harus dipertimbangkan. Makanya kita harap dikelola dengan baik, “ kata Andi.

 

Hubungan dengan pemerintah memanas setelah Freeport mengancam menggugat pemerintah ke Arbitrase Internasional, karena merasa hak-haknya dalam Kontrak Karya (KK) telah dilanggar. Kemudian Freeport telah menghentikan kegiatan produksinya sejak 10 Februari 2017 lalu, karena tak bisa mengekspor konsentrat tembaga. Pangkal masalahnya, Freeport membutuhkan kepastian dan stabilitas untuk investasi jangka panjangnya di Tambang Grasberg, Papua. Sedangkan pemerintah menginginkan kendali yang lebih kuat atas kekayaan sumber daya mineral.

 

Pada 10 Februari 2017 lalu, pemerintah telah menyodorkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada Freeport sebagai pengganti Kontrak Karya (KK). Jika tak mau menerima IUPK, Freeport tak bisa mengekspor konsentrat tembaga, kegiatan operasi dan produksi di Tambang Grasberg pasti terganggu. Posisi pemerintah sebagai pemberi izin kini dinilai menjadi lebih kuat daripada korporasi sebagai pemegang izin.

Kontrak karya memposisikan pemerintah dan Freeport sebagai dua pihak yang berkontrak dengan posisi setara. Ini adalah langkah pemerintah untuk memperkuat penguasan negara terhadap kekayaan alam. Tapi Freeport tak mau begitu saja mengubah KK-nya menjadi IUPK. Sebab, IUPK dinilai tak memberikan kepastian, pajaknya bisa berubah mengikuti aturan perpajakan yang berlaku (prevailing), tak seperti KK yang pajaknya tak akan berubah hingga masa kontrak berakhir (naildown).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement