REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antar bank di Jakarta pada Senin (30/1) pagi bergerak menguat sebesar 44 poin menjadi Rp 13.316, dibandingkan sebelumnya di posisi Rp 13.360 per dolar AS.
"Sentimen perlambatan ekonomi Amerika Serikat menjadi salah satu faktor yang menopang rupiah mengalami apresiasi," kata ekonom Samuel Sekuritas Rangga Cipta di Jakarta, Senin (30/1).
Menurut dia, revisi data pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat pada kuartal empat 2016 yang di bawah ekspektasi menjadi salah satu penyebab utama dolar AS mengalami depresiasi terhadap mayoritas mata uang global. Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) AS kuartal empat turun ke 1,9 persen.
Hasil PDB AS itu, lanjut dia, juga turut membuat ekspektasi pasar terhadap suku bunga acuan bank sentral AS (Fed Fund Rate) yang dijadwalkan pada pekan ini masih akan dipertahankan. Kendati demikian, ia mengatakan bahwa munculnya potensi pemangkasan prospek utang Tiongkok oleh lembaga pemeringkat internasional Standard & Poors (S&P) dapat menopang dolar AS kembali.
Di sisi lain, ia juga mengatakan penguatan rupiah bisa tertahan merespon inflasi Januari 2017 yang diperkirakan naik. Namun diharapkan naiknya inflasi dapat terbatas dan belum memicu kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia.
"Pasca data inflasi, fokus pasar perlahan akan tertuju pada pertumbuhan PDB Indonesia periode kuartal empat 2016 yang dijadwalkan rilis pada pekan pertama Februari 2017," katanya.
Analis Binaartha Sekuritas Reza Priyambada menambahkan bahwa laju rupiah kembali mencoba menguat dengan memanfaatkan kondisi pelemahan dolar AS di pasar global. Diharapkan skenario itu masih dapat berlanjut sehingga rupiah tetap dapat dalam tren penguatannya.
"Namun, tetap cermati berbagai sentimen yang dapat mempengaruhi perubahan pada laju rupiah terutama dari eksternal," katanya.