REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengusaha memandang 2017 sebagai tahun yang cukup meyakinkan namun penuh kehati-hatian. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P Roeslani menilai bahwa 2017 ini Indonesia bakal dihadapkan iklim ekonomi yang optimistis, tapi penuh kehati-hatian. Apalagi, ekonomi Cina yang sedang mencari keseimbangan baru di tengah perlambatannya membuat kinerja perdagangan dengan Indonesia ikut goyah.
Di sisi lain, kebijakan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) yang mulai berkantor di Geudng Putih pekan lalu juga dinilai perlu terus diamati. Rosan menilai, Indonesia memiliki kerjasama dagang yang cukup besar dengan AS. Rencana kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS hingga tiga kali di tahun 2017 ini juga dinilai memberikan sinyal kehati-hatian bagi Indonesia.
"Dampak ini harus dianalisa, apakah membuat barang kita jadi lebih murah atau (rupiah) jadi lebih murah sehingga ekspor lebih mudah ke negara lain. Dengan Vietnam Malaysia kita jadi lebih compite untuk barang-barang ekspor (karena TPP dibubarkan)," ujar Rosan, Kamis (26/1).
Sri Mulyani Sebut Tantangan Inflasi Tahun Ini Lebih Besar
Rosan menegaskan, pertumbuhan Indonesia di level 5,1 persen tetap bisa diraih dengan mengoptimalkan konsumsi domestik, belanja pemerintah, dan investasi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut Indonesia juga mengalami tantangan di sisi investasi asing. Tahun 2016 lalu, nilai realiasi investasi asing di Indonesia sedikit melambat dibandingkan tahun 2015. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, secara year on year, realisasi investasi asing (PMA) dari 2015 ke 2016 hanya tumbuh sekitar 7 persen.
Catatan Kementerian Keuangan, investasi juga hanya bisa tumbuh 6,8 persen sepanjang 10 tahun belakangan. Sri menyebutkan, hal ini lantaran ada kelesuan permintaan di pasar global terutama di negara berkembang sebagai negara tujuan investasi. Apalagi, harga komoditas dalam tiga tahun belakangan juga melemah.
"Ini harus diwaspadai," ujarnya.
Namun Sri meyakini, mulai merangkaknya harga komoditas di tahun ini bisa ikut mendorong permintaan dan daya beli masyurakat. Harapannya, daya beli yang meningkat bisa ikut meningkatkan investasi domestik dan menggenjot penyaluran kredit perbankan.
"Kalau dilihat dari indikator tersebut, maka peluang untuk meraih pertumbuhan kredit yang lebih tinggi dari tahun lalu juga cukup besar. Kemarin Presiden Jokowi meminta pertumbuhan kredit ada di batas atas 12 persen," kata Sri.