Kamis 12 Jan 2017 18:22 WIB

Dealer SUN Lebih Berhati-hati Rilis Riset

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Nidia Zuraya
Layar monitor menunjukan pergerakan grafik surat utang negara di Delaing Room Treasury (ilustrasi).
Foto: Republika/Wihdan
Layar monitor menunjukan pergerakan grafik surat utang negara di Delaing Room Treasury (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah telah merevisi aturan terkait penjualan Surat Utang Negara (SUN) dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 199/PMK.08/2015 sebagai perubahan atas PMK nomor 134/PMK.08/2013 tentang Dealer Utama. Revisi ini mempertegas hubungan antara pemerintah dengan para dealer utama perdagangan SUN.

Hal ini menyusul dicoretnya bank asal Amerika Serikat (AS), JP Morgan Chase NA, sebagai dealer utama penjualan surat utang internasional. Melalui risetnya, JP Morgan dianggap memberikan penilaian negatif terhadap pasar surat utang Indonesia. 

Kepala Ekonom SIGC (SKHA Institute for Global Competitiveness), Eric Sugandi menilai, penegasan pada revisi PMK ini akan berdampak pada riset yang akan dikeluarkan oleh perbankan atau perusahaan efek yang menjadi dealer utama SUN. 

"Bank-bank asing akan lebih berhati-hati keluarkan riset. Mungkin beberapa akan terapkan blackout period, dalam arti tidak mengeluarkan publikasi riset berkaitan dengan produk yang mereka jualkan atau produk lain yang berkaitan untuk periode waktu ketika ada conflict of interest," tutur Eric pada Republika, Kamis (12/1).

Eric menjelaskan, bagi banyak bank, riset dianggap sebagai cost center dan bukan revenue generator. Akibatnya bank-bank tersebut mungkin akan menuruti kemauan pemerintah asal kepentingan bisnis mereka tidak terganggu. Ia menilai, black period ini bisa menjadi jalan tengah untuk mengikuti keinginan pemerintah tanpa harus mengorbankan independensi divisi riset.

Sebelumnya dalam hasil riset berjudul " Trump Forces Tactical Changes" yang dirilis pada 13 November 2016 lalu, JP Morgan mengubah rekomendasi alokasi portofolio bagi investor di sejumlah negara berkembang termasuk Indonesia, Brasil, Turki, dan Malaysia. 

Dalam riset tersebut, JP Morgan menurunkan tingkat rekomendasi Indonesia dan Turki ke underweight. Sementara Brasil yang iklim politiknya lebih panas dibanding Indonesia diturunkan ke level netral dan Malaysia dinaikkan ke level overweight. Pemerintah kemudian mencoret bank asal AS ini sebagai dealer utama penjualan surat utang internasional.

Meski bank tersebut memberikan penilaian negatif pada ekonomi Indonesia, kata Eric, pengaruhnya terbatas pada aliran modal masuk ke Indonesia. Sebab, lebih banyak riset lain yang justru memberikan proyeksi positif untuk ekonomi Indonesia.

"Dan traders dan investors biasanya juga tidak hanya menggunakan satu sumber riset. Mereka biasanya punya intuisi sendiri dan juga mengunakan views beberapa research houses sebagai referensi. Jadi bukan riset JP Morgan saja yang jadi patokan,"jelas Eric.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement