Rabu 11 Jan 2017 00:28 WIB

Atasi Harga Cabai, Pengamat: Ubah Kebiasaan dan Rangkul Petani

Rep: melisa riska putri/ Red: Budi Raharjo
 Pedagang sedang mengatur dagangan cabai merah keriting di salah satu pasar tradisional, Jakarta, Senin (21\1).
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Pedagang sedang mengatur dagangan cabai merah keriting di salah satu pasar tradisional, Jakarta, Senin (21\1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meroketnya harga cabai saat ini diharapkan tidak kembali terulang di masa depan. Sebab, menurut pengamat pertanian sekaligus guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa, lonjakan harga akibat musim hujan sudah terjadi sejak silam.

"Tapi tahun ini lebih parah dari dua tahun belakangan," katanya kepada Republika, Selasa (10/1).

Produksi cabai terjadi maksimal pada triwulan pertama. Namun saat itu merupakan musim penghujan yang membuat pasokan cabai diTanah Air berkurang sementara permintaan meningkat. Pola tersebut sudah diketahui dan rutin. Sehingga menurutnya bisa diantisipasi dengan mudah, bukan melakukan intervensi ketika harga sudah naik.

Intervensi atau campur tangan pemerintah untuk membeli pasokan cabai untuk meredam harga yang meroket diakui Dwi justru akan semakin meningkatkan harga. Sebab, dengan stok yang terbatas dan permintaan tinggi dari konsumen, kehadiran pemerintah mencari cabai dari daerah sentral merupakan tambahan permintaan.  "Pemerintah nggak perlu panik. Biarlah berlalu dengan sendirinya," katanya.

Saat ini harga cabai di beberapa daerah mulai mengalami penurunan dan diperkirakan pada Februari harga akan kembali normal. Namun, meroketnya harga cabai dinilai Dwi juga memiliki dampak positif untuk mengedukasi masyarakat. Yakni mengedukasi agar masyarakat mau beralih dari cabai segar ke cabai olahan. "Rasa pedas tidak harus diperoleh dari cabai segar," tegasnya.

Seperti di negara lain yang telah terbiasa menggunakan cabai kering ataupun cabai pasta sebagai sumber rasa pedas,  ia berharap Indonesia mampu merubah pola tersebut. Selain mampu meredam harga cabai, peralihan kebiasaan ini juga akan membuat petani lebih sejahtera.

Menurutnya, selama ini petani dirugikan ketika panen raya dan surplus yang akan menjatuhkan harga komoditas hortikukultura itu sekaligus merugikan petani. Namun dengan peran teknologi, surplus cabai bisa diolah menjadi produk bernilai tinggi dan tahan lama.

Selain perubahan kebiasaan masyarakat, pemerintah juga perlu merangkul para petani cabai yang ada. Pemerintah dinilai perlu membantu petani untuk menanam cabai melawan musim.

Dengan cara tersebut diharapkan pada saat paceklik, harga tidak meningkat terlalu tinggi karena stok masih memadai. Sementara pada panen raya harga tidak jatuh karena stok sudah dikendalikan.

Cara tersebut dinilai lebih efisien ketimbang membuka lahan baru dan menyuruh petani baru menanam cabai. "Nggak mudah. Tanam cabai tidak semudah membalikkan telapak tangan," ujarnya.

Lebih baik, ia melanjutkan, pemerintah bekerja sama dengan para petani cabai yang telah memiliki pengalaman belasan tahun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement