Selasa 10 Jan 2017 17:20 WIB

Pemerintah Yakini Kenaikan Pajak Rokok tak Pengaruhi Inflasi

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Petugas toko mengambil rokok untuk konsumen di salah satu ritel, Jakarta. (Republika/ Wihdan)
Foto: Republika/ Wihdan
Petugas toko mengambil rokok untuk konsumen di salah satu ritel, Jakarta. (Republika/ Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah meyakini kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Penyerahan Hasil Tembakau dari 8,7 persen menjadi 9,1 persen tidak akan mempengaruhi laju inflasi. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara menjelaskan, kenaikan PPN kali ini dianggap sudah memperhitungkan pertumbuhan industri dan peta jalan industri rokok hingga 2019.

Apalagi, kata dia, angka PPN tersebut masih lebih rendah dari pengenaan pajak normal lainnya di angka 10 persen. "Kan biasanya PPN itu 10 persen, dengan cara pajak masukan dan pajak keluaran. Tapi untuk rokok kita kenakan di final produsen. Ini industri sudah tahu roadmap kita menuju ke sana (PPN 10 persen)," ujar Suahasil di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (10/1).

Kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 207/PMK 010/2016 tentang Tata Cara Perhitungan dan Pemungutan PPN Atas Penyerahan Hasil Tembakau ini efektif berlaku sejak Januari 2017 ini. Meski begitu, Suahasil mengaku belum tahu secara rinci berapa potensi lonjakan penerimaan negara yang diperoleh dari kenaikan PPN rokok kali ini.

Pemerintah berharap secara bertahap bisa menaikkan PPN rokok ke level 10 persen hingga 2019 mendatang.  

"Jadi secara prinsip, kami ingin PP itu kembali ke ketentuan umum. Sekarang adalah 9,1 persen, final. Ya sudah itu saja dulu. Nanti kami lihat lagi, tapi arahnya tetap ke normal (10 persen)," ujar dia.

Sementara itu, pelaku industri rokok merasa keberatan dengan kebijakan pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) rokok menjadi 9,1 persen per Januari 2017 ini. Ketua Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo menilai, kenaikan PPN rokok ditambah dengan kenaikan cukai yang sudah diputuskan tahun lalu membuat produsen akan menaikkan harga jual rokoknya.

Padahal, kata dia, sejak tiga tahun belakangan industri rokok sedang mengalami penurunan kapasitas produksi. Bahkan menurut data Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, pada 2016 lalu ada penurunan kapasitas produksi sebesar 6 miliar batang. Ia menilai, kenaikan harga rokok bisa berimbas pada kenaikan angka inflasi.

"Ya kan, PPN naik ditambah cukai naik tahun lalu hubungannya kan ke kenaikan harga jual rokok ya. Tentu kenaikannya bisa bervariasi antarprodusen. Tapi kami melihatnya, ini justru memberikan ruang yang lebih banyak kepada produsen rokok ilegal. Sekarang saja, dari seluruh pasokan rokok yang ada, 11 persennya disebutkan ilegal," ujar Budidoyo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement