REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan kenaikan tarif pengesahan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dilakukan untuk memperbaiki pelayanan surat perizinan yang dilakukan Polri kepada masyarakat.
"PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dalam hal ini adalah tarif yang ditarik oleh kementerian lembaga dan harus mencerminkan jasa yang diberikan. Jadi, dia harus menggambarkan pemerintah yang lebih efisien, baik, terbuka, dan kredibel," kata Sri Mulyani di Jakarta, Selasa (3/1).
Dia mengatakan, kenaikan tarif PNBP ini merupakan kewajaran karena terakhir kali tarif tersebut mengalami penyesuaian pada 2010 dan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan terkini yang dinamis. "Tarifnya sejak 2010 tidak pernah di-update. Ini sudah tujuh tahun. Jadi, untuk tarif PNBP di kementerian lembaga memang harus disesuaikan, karena faktor inflasi maupun untuk jasa pelayanan yang lebih baik," ujarnya.
Untuk itu, menurut Sri, dengan adanya kenaikan tarif PNBP tersebut maka masyarakat bisa lebih percaya terhadap jasa pelayanan yang diberikan oleh pemerintah dan jumlah pungutan tidak resmi dapat ditekan. Sebelumnya, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang mengatur beberapa hal terkait tarif baru pengurusan surat-surat kendaraan bermotor.
Peraturan tersebut, di antaranya, penambahan atau kenaikan tarif untuk pengesahan STNK, penerbitan nomor registrasi kendaraan bermotor pilihan, dan surat izin serta STNK lintas batas negara. Untuk kendaraan roda dua dari Rp 50 ribu menjadi Rp 100 ribu, sementara untuk roda empat dari Rp 75 ribu menjadi Rp 200 ribu.
Kenaikan tarif juga berlaku untuk penerbitan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) baru dan ganti kepemilikan (mutasi). Besaran tarifnya, untuk kendaraan roda dua dan tiga dari Rp 80 ribu menjadi Rp 225 ribu, serta kendaraan roda empat dari Rp 100 ribu menjadi Rp 375 ribu. Semua tarif baru tersebut mulai diberlakukan pada 6 Januari 2017.