REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonomi Indonesia secara fundamental dinilai solid sehingga pada tahun depan memiliki potensi besar adanya aliran modal masuk (capital inflow). Bank Indonesia (BI) menilai pasar keuangan global telah memperkirakan adanya kenaikan suku bunga bank sentral AS, The Fed, sehingga sudah terlebih dahulu mengantisipasi.
"Pasar sudah menyesuaikan dalam perencanaannya. Jadi bukan kejutan lagi FFR akan naik," ujar Direktur Eksekutif Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Juda Agung di Jakarta, Rabu (14/12).
Dengan semakin jelasnya arah kebijakan The Fed, ketidakpastian global mereda. Sementara dari faktor domestik, kondisi fundamental ekonomi yang solid mendorong penguatan rupiah. Pada Desember ini, rupiah kembali menguat seiring dengan adanya arus modal masuk yang mencapai Rp 7 triliun.
Sebelumnya, rupiah sempat terdepresiasi cukup tajam sejak awal November lalu akibat meningkatnya ketidakpastian perekonomian global pasca Pemilu AS. Pada perdagangan hari ini rupiah ditutup menguat tipis sebesar Rp 13.294 per dolar AS setelah sebelumnya dibuka di Rp 13.295 per dolar AS.
"Memang Oktober ada capital outflow, tapi Desember ini ada inflow sebesar Rp 7 triliun sehingga rupiah menguat," katanya.
Sementara itu Ekonom Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Doddy Ariefianto menilai ke depannya Indonesia berpotensi mendapatkan capital inflow. Ia menuturkan, ada tiga faktor utama yang menjadi pertimbangan investor untuk berinvestasi pada suatu negara. Pertama, manajemen makroekonomi, sistem perbankan, dan utang luar negeri.
Manajemen makroekonomi yang konservatif ditunjukkan dengan defisit anggaran yang dibatasi 3 persen. Sementara itu defisit transaksi berjalan kini berada di 1,8 persen.
Sistem perbankan pun relatif cukup sehat meskipun masih banyak yang melakukan pencadangan karena rasio kredit macet atau Non Performing Loan (NPL) cukup tinggi yakni 3,1 persen, namun ini dinilai sudah berada di puncaknya. Rasio kecukupan modal perbankan (CAR) yang sebesar 22,6 persen juga salah satu yang tertinggi di dunia. "Utang kita juga tidak banyak, jadi tidak sedesperate itu untuk utang," katanya.
Beberapa hal tersebut menjadi faktor penting yang dipertimbangkan investor asing untuk suatu negara. Meskipun saat ini salah satu lembaga pemeringkat rating Standard & Poor masih belum menaikkan rating investasi Indonesia menjadi investment grade, namun rating yang diberikan Fitch dan Moody's telah cukup bagi investor menilai kelayakan Indonesia.
"Yield yang diminta investor asing kalau terbitkan SBN baik rupiah atau valas setara BBB atau BBB+. Jadi rating agency penting dan jadi booster bagi kita, tapi bukan hidup mati. Kondisi kita bagus kok," katanya.
Bahkan beberapa analis global, lanjut Doddy, menilai Indonesia resisten terhadap ketidakpastian global khususnya dampak dari kebijakan Trump. "Kita salah satu negara yang resilience dari ketidakpastian global. Jadi menarik untuk investor," ujar Doddy.