Selasa 13 Dec 2016 16:29 WIB

Risiko Gagal Bayar Sektor Swasta Naik

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nidia Zuraya
Utang/ilustrasi
Foto: johndillon.ie
Utang/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Faktor eksternal yang berasal dari rencana kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikag (AS) di Desember ini dan penguatan ekonomi AS di tahun depan ikut memberikan beban bagi sektor swasta yang memiliki utang luar negeri (ULN). Artinya, risiko gagal bayar sektor swasta di tahun depan ikut meningkat seiring dengan volatilitas rupiah yang berlanjut.

Peneliti Institute for Development on Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, peran stabilitas nilai tukar rupiah dalam menambah likuiditas di dalam negeri terbilang penting. Alasannya, stabilitas kurs rupiah memiliki implikasi langsung terhadap risiko utang luar negeri dan pembayarannya.

"Stabilitas nilai tukar selama 2016 bisa dibilang sangat fluktuatif. Walaupun di satu sisi terjadi apresiasi atau penguatan sejak awal tahun ini. Namun nilai tukar masih di kisaran Rp 13 ribu per dolar AS atau lebih rendah dibanding periode 2014 silam," kata Bhima, Selasa (13/12).

Bhima melanjutkan, fluktuasi kurs rupiah di tahun 2016 ini lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi global yang memang sedang bergejolak. Tiga faktor global, yakni perlambatan ekonomi sejak dua tahun lalu, terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS, dan ketidakjelasan rencana kenaikan suku bunga AS memberikan imbas langsung terhadap aktivitas perdaganagn internasional.

"Permintaan terhadap rupiah selama 2016 masih terkontraksi," ujarnya.

Selain itu, Bhima juga menyebutkan bahwa fluktuasi kurs rupiah menambah ketidakpastian bagi pelaku usaha untuk menambah utang dalam bentuk mata uang asing atau valas. Menurutnya, kondisi ini tampak pada data yang dirilis Bank Indonesia (BI) bahwa terjadi perlambatan pertumbuhan utang luar negeri swasta sebesar -3,4 persen di pertengahan tahun ini.

"Meski rata-rata pinjaman dalam bentuk mata uang asing hanya berkisar 1,5-2 persen, namun pelaku usaha cenderubg mengurangi porsi pinjaman luar negerinya. Risiko gagal bayar karena terdepresiasinya rupiah terhadap dolar AS cukup besar," jelasnya.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), pertumbuhan tahunan ULN sektor publik meningkat menjadi 20,8 persen (yoy) pada kuartal III 2016 dari kuartal sebelumnya sebesar 17,9 persen (yoy). Sementara pertumbuhan tahunan ULN sektor swasta terus menurun.

Pada akhir kuartal III 2016, posisi ULN sektor swasta mencapai 163,1 miliar dolar AS (50,1 persen dari total ULN), sementara posisi ULN sektor publik sebesar 162,2 miliar dolar AS (49,9 persen dari total ULN). ULN sektor swasta turun 2,7 persen (yoy) pada kuartal III 2016. Penurunan ini lebih dalam dibandingkan dengan penurunan pada kuartal sebelumnya sebesar 2,3 persen (yoy).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement