Rabu 16 Nov 2016 14:17 WIB

Aprindo Optimistis Raup Omzet Rp 200 Triliun

Konsumen/ilustrasi
Foto: IST
Konsumen/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) optimistis mampu meraup omzet sebesar Rp 200 triliun selama tahun 2016 karena didorong kebijakan pemerintah yang turut mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional.

"Kami targetkan hingga Desember 2016, kami bisa tumbuh 10 hingga 11 persen lebih baik dari tahun lalu yang hanya bergerak hingga delapan persen," kata Ketua Umum Aprindo, Roy N Mandey ditemui usai melakukan penandatanganan nota kesepakatan LPSK dengan Aprindo untuk membantu korban terorisme di Sanur, Denpasar, Rabu (16/11).

Menurut dia, pertumbuhan ekonomi tahun ini yang diproyeksi mencapai 5,1 persen dibandingkan tahun lalu yang mencapai 4,7 persen dinilai mendorong pertumbuhan bisnis ritel di Tanah Air. Tidak hanya itu sejumlah kebijakan pemerintah terkait dengan harga listrik, gas dan bensin dengan adanya penurunan harga mendorong denyut ekonomi negara.

Selain itu kurs mata uang rupiah yang lebih kuat bertengger pada level Rp 13 ribu dan penurunan suku bunga acuan BI yang sempat tiga kali turun serta inflasi yang rendah menjadikan pihaknya optimistis meraih pertumbuhan positif meskipun sejumlah kalangan menilai saat ini situasi perekonomian tengah lesu.

"Ditambah dengan deregulasi pemerintah mendorong daya saing dan produktivitas peritel dan daya beli masyarakat. Itu yang membuat industri ritel tahun 2016 ini tumbuh lebih baik dari tahun sebelumnya," imbuh Roy.

Sedangkan hingga September 2016, Roy menambahkan bahwa sudah terealisasi 80 persen dari target Rp 200 triliun Aprindo yang memiliki 600 anggota dengan sekitar 35 ribu toko di seluruh Indonesia. Roy mengungkapkan bahwa daya beli masyarakat juga melonjak karena adanya indikator tersebut sehingga turut berimbas kepada industri ritel yang juga tumbuh karena tidak bisa dilepaskan dari konsumsi masyarakat.

"Daya beli konsumen membaik karena adanya pertumbuhan ekonomi, inflasi rendah, rupiah menguat, BI Rate turun sehingga ini memberikan dampak mendorong konsumsi masyarakat dan mengeluarkan (dana) untuk bertransaksi." ujarnya.

Sementara itu terkait situasi saat ini yang dinilai sebagian kalangan mengalami perlambatan, Roy menegaskan bahwa perlambatan ekonomi cenderung ke arah siklus. Artinya perlambatan terjadi pada bulan-bulan tertentu yakni antara April-Maret dan September-Oktober.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement