Kamis 27 Oct 2016 14:15 WIB

JK tak Yakin dengan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun Depan

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Nidia Zuraya
Pertumbuhan ekonomi (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Pertumbuhan ekonomi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menilai pertumbuhan ekonomi pada tahun depan masih tak pasti. Mengingat kondisi berbagai negara di dunia saat ini penuh dengan masalah dan konflik, serta kekhawatiran.

Kondisi perekonomian di suatu negara pun, kata dia, pasti terpengaruh oleh negara-negara lainnya. Termasuk juga terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

"Kalau bicara tahun depan, satu-satunya kepastian tahun depan adalah ketidakpastian. Tidak ada di antara kita yang bisa memprediksi dengan betul apa yang terjadi pada tahun depan atau tahun akan datang. Dunia penuh ketidakpastian di mana pun," kata JK saat menghadiri acara Tempo Economic Briefing di Jakarta, Kamis (27/10).

Permasalahan yang terjadi di negara lain, seperti Amerika, Eropa, dan juga Cina akan berdampak pada negara lainnya. Kendati demikian, saat ini ia menilai tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih baik daripada Singapura, Malaysia, dan Thailand. Menurut JK, pertumbuhan ekonomi di negara maju pun bahkan tak dapat mencapai lebih dari tiga persen.

"Jadi kita ada kondisi keadaan, tidak sakit tapi juga tidak kuat berlari. (Pertumbuhan) lima persen itu berarti kita lebih tinggi dari pada Singapura, Malaysia, Thailand apa lagi. Tapi kita masih lebih rendah daripada Filipina, China. Tapi kalau negara maju tidak ada yang bisa mencapai lebih dari tiga persen. Tapi, tiga persen dari pada 50 ribu dolar AS pendapatannya, dibandingkan dengan 5 persen dari 3.500 ya beda hasilnya," ucap dia.

Untuk menghadapi kondisi perekonomian yang masih belum pasti tersebut, pemerintah perlu mendorong peningkatan produktivitas dalam negeri sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Selain itu, Indonesia yang memiliki potensi pasar yang besar dapat meningkatkan tingkat konsumsinya.

JK juga menekankan, perlunya pemerintah mengurangi besaran subsidi sehingga tak menambah beban utang negara. Anggaran subsidi terbesar, kata dia, terjadi pada 2013-2014 di mana pemerintah menggelontorkan sekitar Rp 390 triliun atau sekitar 30 persen dari APBN.

"Zaman tahun 2013 -2014 pemerintahan yang lama, itu subsidinya 30 persen daripada APBN, Rp 390 triliun. Rekor itu. Alhamdulilah sekarang kita turunkan. Efeknya sekarang baru kita rasakan, bunganya besar, bayar utang. Sekarang kita pun utang lagi, lebih besar. Jadi bagaimana kita menekannya, supaya pemerintahan yang akan datang tidak punya beban yang kebesaran akibat saat ini. Jadi bagaimana menghemat yang tidak perlu dan meningkatkan produktivitas," jelas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement