REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Instrumen pasar uang di Indonesia masih sangat dangkal. Untuk itu, Bank Indonesia sedang mengkaji aturan penerbitan Surat Berharga Komersial (SBK) atau commercial paper sebagai instrumen pendanaan dengan tenor jangka pendek.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza Adityaswara menjelaskan, ekonomi Indonesia tidak bisa berjalan tanpa dana dari luar. Hal ini ditunjukkan dengan utang luar negeri (ULN) korporasi dan perbankan yang mencapai 160 miliar dolar AS. Sedangkan ULN pemerintah sendiri sekitar 140 miliar dolar AS, termasuk Surat Berharga Negara (SBN) Rupiah yang diberikan untuk asing sekitar 390 miliar dolar AS.
Namun, di dalam negeri sebanyak Rp 300-350 trilliun likuiditas perbankan masuk kembali ke bank sentral, yang seharusnya berputar di sistem keuangan. "Ini karena instrumen jangka pendeknya tidak tersedia atau belum banyak, maka bank saat tidak mendapat aset likuid di pasar, maka ditempatkan lagi di BI. Makanya BI terbitkan aturan mengenai instrumen jangka pendek," jelas Mirza di Gedung Bank Indonesia, Senin (24/10).
Mirza menuturkan, saat ini kebutuhan korporasi dan lembaga keuangan nonbank mencari pendanaan cukup besar, sehingga diperlukan instrumen jangka pendek. Dengan sebanyak 500 korporasi di luar bank yang terdaftar, potensi penerbitan SBK ini sangat besar. Korporasi tersebut membutuhkan pendanaan untuk modal kerja.
Sementara untuk perbankan, nantinya BI akan menerbitkan aturan mengenai Negotiable Certificate of Deposit (NCD). NCD adalah sertifikat deposito yang diterbitkan perbankan dengan tenor jangka pendek.
"NCD kan aturannya terbit dari OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Tapi saat diperdagangkan di PUAB (Pasar Uang Antar Bank) tentunya tenor setahun itu dia akan terkena cara perdagangannya bagaimana, akan diatur di PBI NCD,"jelasnya.
Saat ini bank sentral sedang mengkaji lebih dalam mengenai instrumen pendanaan jangka pendek ini. Diharapkan dengan adanya SBK, kebutuhan pendanaan korporasi akan terpenuhi dan pasar uang akan semakin menggeliat.