REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) kembali melakukan pelonggaran kebijakan moneter dengan menurunkan suku bunga kebijakan BI 7 day Reverse Repo Rate (BI 7 day RR Rate) menjadi 4,75 persen. Kendati begitu, Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai pelonggaran kebijakan moneter belum akan efektif bila tidak didukung kebijakan fiskal yang ekspansif.
"Menurut hemat saya, pelonggaran kebijakan moneter ini blm akan efektif apabila tidak diikuti oleh kebijakan fiskal yg ekspansif," ujar Josua, Jumat (21/10).
Josua menilai, yang patut dicermati adalah seberapa efektif transmisi kebijakan moneter BI ini untuk mendorong daya beli masyarakat, mengingat kondisi terkini rasio kredit bermasalah atau NPL cenderung tinggi dan permintaan kredit pun juga terus menurun.
"Suku bunga acuan sudah turun 150 basis points secara year to date, namun pertumbuhan kredit hanya tumbuh kurang dari 3 persen," katanya.
Menurut Josua, tidak dipungkiri bahwa ruang pelonggaran memang terbuka dengan perkembangan data ekonomi Indonesia dalam beberapa waktu terakhir ini, seperti inflasi September yang terkendali, surplus neraca perdagangan dan peningkatan cadangan devisa. Namun demikian, ia menduga bahwa ekspektasi pertumbuhan ekonomi kuartal 3 2016 lebih rendah dari perkiraan mengingat terbatasnya kontribusi konsumsi pemerintah akibat penghematan anggaran.
Selain itu, pelonggaran kebijakan moneter yang di luar dugaan pada RDG bulan ini menurut Josua juga memanfaatkan momentum pelonggaran kebijakan moneter, sebelum potensi risiko eksternal seperti Pilpres AS dan kenaikan suku bunga Fed yang dapat memberikan sentimen negatif pada pasar keuangan dan nilai tukar.
"Selanjutnya saya memperkirakan pemangkasan suku bunga acuan BI pada bln ini merupakan yg terakhir pada akhir tahun atau dengan kata lain BI 7RR diperkirakan akan bertahan 4,75 persen hingga akhir tahun ini," ujar Josua.