Selasa 04 Oct 2016 17:51 WIB

Pertumbuhan Kredit Perbankan Diprediksi Masih Lemah di Akhir Tahun

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Nur Aini
Kredit (ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan
Kredit (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertumbuhan kredit hingga akhir tahun ini dinilai masih belum akan terdongkrak akibat permintaan dan daya beli masyarakat yang masih lemah. Hal itu diprediksi terjadi meski di akhir tahun diperkirakan likuiditas longgar karena ada aliran dana yang masuk dari program amnesti pajak.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Nelson Tampubolon menjelaskan, penyaluran kredit sangat terkait dengan sektor riil. Apabila sektor riil masih belum kuat permintaannya, maka sulit untuk mendorong pertumbuhan kredit. Selain itu daya beli masyarakat juga masih lemah yang ditandai dengan inflasi yang rendah. Namun, sejauh ini sektor konsumsi masih tetap tumbuh.

"Yang menopang pertumbuhan kredit sektor konsumsi. Konsumsi tetap tumbuh, jadi saya rasa sejauh ini masih konsumsi," ujar Nelson saat ditemui di Menara Merdeka, Jakarta, Selasa (4/10).

Sementara dari segi likuiditas, kata Nelson, akhir tahun ini diperkirakan akan melonggar karena dana repatriasi dan deklarasi kebijakan amnesti pajak diharuskan masuk sebelum Desember.

Dengan adanya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 141 yang mengatur tentang administrasi kebijakan amnesti pajak, wajib pajak yang ingin merepatriasi dananya dapat mengurus administrasi terlebih dahulu untuk periode awal dengan tebusan sebesar dua persen. Sedangkan untuk dana diberi waktu untuk masuk hingga akhir Desember 2016, sehingga likuiditas diperkirakan akan longgar.

Sementara indikasi pengetatan, kata Nelson, terjadi di individual bank, terutama di Bank Pembangunan Daerah (BPD). Hal itu karena biasanya pada akhir tahun belanja pemerintah daerah cukup tinggi.

"Tapi biasanya sudah termanage dengan baik karena mereka sudah pengalaman. Tapi siklus selalu begitu. Desember itu selalu BPD itu menurun. Tapi mereka selalu dapat mengatasi ini," katanya.

Sebelumnya perbankan mengajukan adanya relaksasi pada komponen Loan to Funding Ratio (LFR) untuk menambah pinjaman bilateral agar menambah likuiditas. Menurut Nelson, apabila keinginan bankir ini disetujui oleh bank sentral, maka hal ini akan mendorong kredit naik.

"Kalau loan termasuk yang kategori itu (pinjaman bilateral) maka loan-nya bisa naik, yang tadinya di bawah 80 persen, LDR bisa masuk di range. Sebenarnya tidak ada yang berubah, hanya formulanya dilonggarkan," tutur Nelson.

Dalam kesempatan yang sama, Deputi Gubernur Bank Indonesia, Erwin Riyanto mengakui, bahwa saat ini permintaan kredit dan daya beli masyarakat masih rendah. Namun, relaksasi komponen LFR ia nilai tidak akan mendorong pertumbuhan kredit.

"Kalau misalnya mau memasukkan ke situ, LFR kan kaitannya ke pemberian kredit. Untuk sementara ini kan kredit sedang melambat, sehingga sebenarnya tidak ada urgensinya bagi bank untuk meningkatkan itu dulu," ujar Erwin.

Sebelumnya Bank Indonesia (BI) mencatat, posisi kredit yang disalurkan perbankan pada akhir Agustus 2016 tercatat sebesar Rp 4.178,6 triliun atau tumbuh 6,7 persen (yoy). Realisasi ini lebih rendah dibandingkan Juli 2016 yang tumbuh sebesar 7,6 persen (yoy).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement