REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kesulitan menarik pajak dari Google yang ada di Indonesia. Menurut pengamat ekonomi Mohammad Faisal, sejauh ini belum ada regulasi yang menyasar perusahaan digital secara detil. Pemerintah masih banyak menarik pajak perusahaan yang bermain dengan cara konvensional. Akibatnya ketika akan menarik pajak dari perusahaan sekelsa Google, pemerintah kewalahan.
"Pemerintah tertinggal. Regulasi ini menjelimet karena memajaki perusahaan di sektor yang transaksinya digital ini memang tidak mudah. Makanya DJP dan regulator lain harus lebih pintar membuat regulasi tersebut," kata Faisal, di Jakarta, Senin (19/9).
Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) ini menjelaskan, ketika regulasi yang dimiliki pemerintah tidak kuat untuk menekan perusahaan digital, maka pemerintah juga akan sulit melakukan penindakan atas kelalaian dalam menjalankan regulasi. Perusahaan yang ditindak bisa melawan jika regulasi yang dimiliki tidak kuat untuk menekan perusahaan tersebut.
Dengan regulasi yang lemah, pemerintah justru terlihat tidak adil dengan perusahaan digital yang dimintai pajak. Padahal seharusnya perusahaan digital dalam negeri bisa mendapatkan kemudahan, termasuk dari segi pajak agar dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan digital yang ada. Jangan sampai perusahaan dalam negeri justru tertekan dengan permintaan pajak, sementara DJP masih sulit mendapatkan pajak dari perusahaan sebesar Google.
Dengan ketimpangan yang terjadi sekarang, kata dia, pemerintah sudah seharusnya membuat regulasi yang tepat untuk menunjang pertumbuhan pajak dari perusahaan luar yang ikut 'bermain' di Indonesia. Sedangkan untuk perusahaan digital dalam negeri yang diharapkan terus berkembang, pemerintah wajib memberikan kemudahan dan keadilan dalam hal regulasi, termasuk pembayaran pajak.
"Jadi memang regulasi yang harus diperbaiki. Ketika regulasi sudah kuat. Maka penegakan akan lebih mudah," ujarnya.