REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR --- Badan Penyelenggarakan Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan Cabang Cileungsi, Bogor, Jawa Barat menyiapkan sanksi hukum bagi 150 perusahaan yang tidak mengikutkan pekerjanya dalam program jaminan sosial.
“Upaya hukum ini sudah dituangkan dalam bentuk kerja sama antara BPJS cabang Cileungsi yang membawahi wilayah Kabupaten Bogor dengan Kejaksaan Negeri Cibinong,” kata Kepala Cabang BPJS Ketenagakerjaan Cileungsi Abdul Sholeh Mulyadi di Cileungsi, Senin (5/9).
Ia menjelaskan, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 86/2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi kepada Pemberi Kerja selain Penyelenggara Negara dan setiap orang, selain pemberi kerja, pekerja dan penerima bantuan iuran dalam penyelenggara jaminan sosial, tertuang sanksi administrasi bagi perusahaan yang tidak patuh, yakni tidak mendapatkan layanan publik hingga pencabutan izin usaha.
“Kami sudah membuatkan surat kuasa khusus kepada Kejari untuk melakukan pemanggilan kepada 150 perusahaan yang tidak patuh,” katanya.
Menurutnya, BPJS Ketenagakerjaan Cileungsi juga menggandeng Badan Penanaman Modal Perizinan dan Pelayanan Terpadu (BPMP2T) untuk tidak melayani perizinan SIUP perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya dalam program JKS.
"Sudah ada aturan bagi perusahaan yang ingin mengurus SIUP ditanyakan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatannya," kata dia.
Ia menjelaskan, BPJS Ketenagakerjaan Cabang Cileungsi membawahi tujuh kecamatan di wilayah Kabupaten Bogor. Tiga dari tujuh wilayah tersebut merupakan sentral industri, yakni Gunung Putri, Klapanunggal, dan Cileungsi.
BPJSTK Cileungsi mencatat terdapat 1.600 perusahaan di wilayah tersebut yang menjadi target kepesertaan JKS. Tahun ini ditargetkan ada penambahan 400 perusahana baru yang menjadi peserta.
Abdul menambahkan, sanksi administratif telah diterapkan dengan memanggil perusahaan-perusahaan yang tidak patuh oleh pihak Kejaksaan. Beberapa dari perusahaan tersebut menyatakan siap menjadi peserta BPJSTK.
"Sanksi hukum jelas, selain administrasi tidak bisa mengakses pelayanan publik, juga ada denda sebesar Rp1 miliar," kata Sholeh.