Rabu 31 Aug 2016 06:14 WIB

Sri Mulyani dan Optimisme Memecahkan Kesenjangan Kaya-Miskin Lewat Fintech

Rep: Idealisa Masyrafina, Sapto Andika Candra/ Red: M.Iqbal
Pengunjung melintas saat menghadiri Indonesia Fintech and Festival di Indonesia Conference Exhibition (ICE) BSD, Tangerang, Senin (29/8).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Pengunjung melintas saat menghadiri Indonesia Fintech and Festival di Indonesia Conference Exhibition (ICE) BSD, Tangerang, Senin (29/8).

REPUBLIKA.CO.ID,Industri financial technology (fintech) dinilai dapat memecahkan masalah kesenjangan dalam ekonomi Indonesia. Sebab, kesenjangan ekonomi terjadi sebagai dampak dari kurang meratanya akses lembaga keuangan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, meski angka kemiskinan berkurang, namun angka kesenjangan meningkat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), rasio gini sebagai indikator kesenjangan per Maret 2016 mencapai 0,397 poin.

Angka ini menurun jika dibandingkan rasio gini pada Maret 2015 sebesar 0,408 persen dan September 2015 senilai 0,402. Sri menjelaskan, banyak unsur kesenjangan karena pelaku ekonomi tingkat usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tidak memiliki akses yang sama terhadap keuangan.

Baik itu dalam rangka pinjaman untuk modal kerja, maupun menaikkan volume aktivitas dalam rangka untuk investasi. "Kemampuan pertama untuk membentuk suatu neraca yang leverage dengan akses terhadap permodalan itu masih sangat terbatas. Sehingga fintech merupakan suatu opportunity bagi UMKM untuk bisa mendapatkan akses untuk bisa terjangkau," ujarnya.

Selain itu, masalah lainnya adalah kemampuan penetrasi yang masih terbatas. Adanya fintech ini dinilai merupakan kesempatan baik untuk menyelesaikan masalah daya jangkau dari program-program pemerintah maupun pelaku keuangan untuk bisa terkoneksi dengan para pelaku UMKM.

Efisiensi biaya juga menjadi keuntungan lainnya dari penggunaan fintech dalam menyentuh nasabah UMKM. Biasanya diperlukan dana yang besar untuk menyalurkan pinjaman kepada pelaku UMKM di daerah.

Kendati begitu, adanya risiko juga tetap perlu diwaspadai. "Jadi pemerintah akan membuat suatu lingkungan dimana kesempatan dan kemungkinan untuk maju tetap bisa dikapitalisasi dan risiko bisa minimal. Itu tantangan bagi kita semua," kata Sri.

Keuangan inklusif

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengaharapkan kehadiran industri fintech bisa berperan sebagai jembatan dalam mewujudkan industri keuangan yang inklusif. Artinya, industri fintech harus mampu menjawab tantangan di lapangan bahwa akses masyarakat atas layanan dan jasa keuangan belum optimal.

Darmin menjelaskan, hingga saat ini porsi masyarakat yang telah tersentuh layanan bank baru 36 persen. Industri fintech harus bisa menjembatani fungsi dan peran dari Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai fasilitator intermediasi dan saluran distribusi keuangan.

"Tema besar kita keuangan inklusif. Hal ini penting karena kita masih tertinggal dibanding negara lain. Indikator paling sederhana adalah berapa banyak penduduk Indonesia yang punya akses dan rekening bank," kata Darmin.

Basis bagi rencana untuk mendukung industri fintech terhadap industri keuangan yang inklusif, lanjut Darmin, adalah dengan menyiapkan infrastruktur yang memadai dari sisi teknologi. Darmin menilai bahwa BI dan OJK harus segera menyusun aturan main dan target pasar atas industri fintech sehingga memberikan perlindungan kepada konsumen layanan jasa keuangan.

Namun, Darmin menegaskan, aturan yang digunakan untuk melindungi industri jasa keuangan juga tidak boleh menghambat perkembangan industri fintech. "Kehadiran fintech adalah suatu yang pasti akan berkembang dengan cepat," katanya.

Kondisi ini, lanjut Darmin, membuat pemerintah harus membangun strategi bagaimana memperluas akses keuangan sekaligus meningkatkan literasi keuangan bagi masyarakat. Untuk masalah ini, lanjutnya, edukasi keuangan dinilai menjadi solusi paling ampuh agar masyarakat akrab terhadap akses keuangan.

Langkah yang akan diambil pemerintah adalah sertifikasi tanah rakyat atas Hak Properti Masyarakat. Hal ini dianggap bisa mempermudah akses pemilik tanah rakyat untuk memperoleh modal usaha dari perbankan.

"Kita sedang siapkan upaya besar sehingga sebagian besar atau seluruh tanh arakyat bisa disertifikasi. Hubungannya dengan inklusif? Kalau masyarakat punya tanah tapi tidak tersertifikasi ya tidak bisa dapat kredit dengan mudah," katanya.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement