REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi IV DPR Akmal Pasluddin menyatakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau yang membuat harga rokok mahal akan mengendalikan konsumsi generasi muda dan memberikan dampak positif pada masa depan.
"Dengan tingginya harga rokok yang akan diterapkan pemerintah, dapat mengendalikan konsumsi rokok dari sisi usia serta tingkat ekonomi masyarakat. Hal tersebut juga akan berdampak positif pada kualitas generasi muda," kata Akmal melalui keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (24/8). Akmal menyatakan dukungannya terhadap rencana pemerintah menaikkan harga rokok melalui kenaikan tarif cukai hasil tembakau yang akan meningkatkan margin perusahaan.
Legislator asal PKS tersebut berharap pemerintah tidak mengurungkan niat untuk menaikkan harga rokok. "Ini bisa saja terjadi dari lobi para pengusaha rokok yang merupakan orang-orang terkaya dan memiliki aset terbesar di negara ini," ujar Akmal.
Tarif harga rokok di Indonesia menempati urutan nomor tujuh termurah di dunia setelah Pakistan, Vietnam, Nikaragua, Kamboja, Filipina, dan Kazakhtan. Dengan murahnya harga rokok tersebut, hampir seluruh masyarakat dari berbagai kelas, baik anak maupun dewasa akan mudah membeli rokok.
Selain itu, dalam penyampaian Nota Keuangan dan RAPBN 2017 pada Rapat Paripurna (16/8), pemerintah menargetkan pendapatan cukai sebesar Rp157,6 triliun atau naik 6,12 persen dari target APBN-P 2016 sebesar Rp 148,09 triliun. Sementara itu, cukai hasil tembakau ditargetkan sebesar Rp 149,88 triliun atau naik 5,78 persen dari target APBN-P 2016 sebesar Rp 141,7 triliun.
Akmal menjelaskan kenaikan cukai ini tidak akan berpengaruh pada pemutusan hubungan kerja (PHK) buruh di industri rokok. "Pemerintah sudah mengantisipasi bahwa kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribu per bungkus itu telah meliputi penyesuaian tarif cukai dan penambahan margin perusahaan rokok. Jika margin perusahaan bertambah, meskipun permintaanya berkurang akibat kenaikan harga, perusahaan rokok tetap dapat bertahan tanpa ada PHK," ujar Akmal.