REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) melaporkan posisi Utang Luar Negeri (ULN) pada akhir kuartal II 2016 tercatat sebesar 323,8 miliar dolar AS atau tumbuh 6,2 persen secara tahunan (yoy). Seiring pertumbuhan ULN, tingkat kredibilitas Indonesia dalam pembayaran ULN juga terus menurun ditandai dengan kenaikan Debt Service Ratio (DSR).
Tercatat ULN publik atau pemerintah melesat 17,9 persen (yoy) menjadi 158,7 miliar dolar AS, sementara utang swasta sebesar 165,1 miliar dolar AS atau turun 3,1 persen (yoy). Berdasarkan jangka waktu asal, ULN jangka panjang tumbuh 7,7 persen (yoy), sementara ULN jangka pendek turun 3,1 persen (yoy).
Dengan perkembangan tersebut, rasio ULN terhadap produk domestik bruto (PDB) pada akhir kuartal II 2016 tercatat sebesar 36,8 persen, sedikit meningkat dari 36,6 persen pada akhir kuartal I 2016.
Direktur Eksekutif Departemen Statistik, Hendy Sulistiowati menjelaskan, kenaikan DSR itu karena Bank Indonesia menghitung ratio tersebut dengan perhitungan yang sangat konservatif. "Kita pakai perhitungan itu untuk tindak kehati-hatian," ujar Hendy di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Selasa (23/8).
DSR Tier 1 merupakan rasio pembayaran total ULN (pokok dan bunga) terhadap penerimaan perdagangan luar negeri. Dimana total pembayaran ULN pada Tier 1 meliputi pembayaran pokok dan bunga atas ULN jangka panjang dan pembayaran bunga atas ULN jangka pendek.
Sementara DSR Tier 2 merupakan rasio pembayaran ULN terhadap penerimaan perdagangan luar negeri, dimana total pembayaran pada Tier 2 meliputi pembayaran pokok dan bunga atas ULN dalam rangka investasi langsung selain dari anak.perusahaan di luar negeri, serta pinjaman (loan) dan utang dagang (trade credit) kepada non afiliasi.
Berdasarkan data BI, DSR Tier 1 terus meningkat dari yang sebelumnya 29,9 persen pada Kuartal II 2015 menjadi 34,1 persen per Kuartal I 2016 kemudian terus meningkat jadi 37,3 persen di Kuartal II 2016. Sementara pada DSR Tier 2 sebesar 67,7 persen naik dari Kuartal I yang sebesar 60,9 persen. Angka ini juga meningkat dari kuartal II 2015 yang sebesar 59,2 persen.
"Angka tersebut belum mengkhawatirkan, sebab Tier 1 masih di bawah 51,1 persen sebagai batas aman, sementara Tier 2 sebesar 67,7 persen lebih disebabkan besarnya kredit ekspor impor," jelas Hendy.