Rabu 27 Jul 2016 08:39 WIB

Swasta Berharap Skema PPP di Program Listrik 35 Ribu MW

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Dwi Murdaningsih
Presiden Jokowi meresmikan proyek listrik 35 ribu MW.
Foto: Antara
Presiden Jokowi meresmikan proyek listrik 35 ribu MW.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Produsen Listrik Swasta (APLSI) berharap dana repatriasi dari program tax amnesty bisa bermanfaat bagi sektor energi utamanya program 35 ribu megawatt (MW). Sebab itu, produsen mengusulkan, pemerintah menghidupkan kembali program kerjasama pemerintah dengan swasta (Public Private Partnership) untuk menggiring dana repatriasi ke proyek 35 ribu MW.

 

“Kita usulkan hidupkan lagi program ini, utamanya untuk pembiayaan listrik 35 ribu MW,” ujar Arthur Simatupang, Ketua Harian APLSI, Selasa (26/7)

Dia mengatakan, bila program PPP ini dikawinkan dengan proyek 35 ribu MW, dan kemudian dibiayai oleh bank penampung dana repatriasi, skema kerjasama ini akan sangat solid. Tak hanya itu, skema ini akan mempercepat eksekusi program 35 ribu MW.

Athur mengatakan bila skema ini jalan akan meningkatnya kejelasan dan kepastian (clarity and predictability) aturan main untuk terciptanya iklim yang kondusif bagi investasi di bidang infrastruktur. Juga bisa mengurangi resiko, meningkatkan kepastian masa depan investasi.

Dia mengatakan, skema PPP sudah berjalan sejak tahun 2005 dan  dikenal dengan istilah Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS). Saat ini, KPS telah berganti nomenklatur menjadi Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) sebagaimana diatur lewat Perpres Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.

Proses perjalanan skema PPP di Indonesia telah mengalami sejumlah perubahan regulasi. Mulai dari Perpres Nomor 67 Tahun 2005 tentang Penyediaan Infrastruktur melalui Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha. Lima tahun kemudian, aturan tersebut diubah dengan Perpres Nomor 13 Tahun 2010. Kemudian kembali diubah dengan  Perpres Nomor 56 Tahun 2011 dan diubah kembali dengan Perpres Nomor 66 Tahun 2013. Kini, Perpres Nomor 38 Tahun 2015 masih berlaku dan mesti dirujuk oleh pemangku kepentingan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement