REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menilai fundamental ekonomi domestik yang baik di tengah pelemahan ekonomi global, mendorong penguatan rupiah pada Senin (11/7) hari ini. Berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) kurs rupiah pada Senin (11/7) berada di level Rp 13.112 per dolar AS.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo menjelaskan, informasi terkait kondisi lapangan kerja di Amerika yang menunjukkan angka yang baik pada pekan lalu, biasanya akan membawa tekanan bagi nilai tukar negara-negara berkembang. Namun, rupiah Senin pagi malah cenderung menguat.
"Tetapi bagi Indonesia kita lihat tadi pagi ada kecenderungan kuat, itu menunjukkan cukup banyak dana di Indonesia dan banyak korporasi yang melepas valuta asingnya. Sehingga dolar AS relatif stabil atau rupiah cenderung menguat," ujar Agus DW Martowardojo di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Senin (11/7).
Menurut Agus, fundamental ekonomi Indonesia saat ini terjaga dengan baik. Apalagi di tengah pelemahan kondisi ekonomi global, stabilitas ekonomi Indonesia terjaga. Lalu inflasi terjaga rendah di 0,66 persen pada Juni 2016, serta defisit transaksi berjalan juga terkendali.
Selain itu, pengesahan UU Tax Amnesty dan APBNP yang sudah disetujui juga memberikan sentimen positif. Kendati fundamental ekonomi saat ini dalam keadaan baik, Agus menegaskan bahwa pihaknya akan terus mewaspadai kondisi perekonomian global, terutama efek dari Brexit.
"Justru keluarnya Inggris dari Uni Eropa itu masih di taraf awal. Memang secara jangka pendek ada guncangan dan kita meliat poundsterling tertekan. Tapi kita tahu yang membuat khawatir adalah karena ada ketidakpastian politik karena Perdana Menteri Inggris menyatakan akan mengundurkan diri di bulan Oktober," tutur Agus.
Selain ketidakpastian politik ini, kata Agus, perekonomian global akan mengalami ketidakpastian dari renegosiasi Inggris dengan negara-negara lain yang masih bergabung dengan Uni Eropa. Sebab, sebelumnya berbagai kerja sama perdagangan disepakati oleh Inggris dan seluruh negara Eropa melalui Uni Eropa.
Kendati begitu, ada beberapa sektor industri, seperti keuangan, yang mendapatkan tekanan dengan Brexit ini. Menurut Agus, banyak perusahaan keuangan yang memiliki kantor pusat di Inggris karena bertujuan untuk dapat menggarap bisnis dengan negara-negara Eropa. Namun dengan kondisi Inggris keluar dari Uni Eropa ini, kesempatan perusahaan- perusahaan ini menjadi terbatas. Selain itu, ia juga menilai Industri-industri lain perlu juga transisi. "Jadi yang saya lihat ini periode yang masih akan berlangsung jangka menengah dan Indonesia perlu waspada. Ini perlu hati-hati," katanya.