Senin 27 Jun 2016 18:08 WIB

Kementerian ESDM tak Larang Ekspor Batu Bara ke Filipina

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Proses bongkar muat batu bara dari kapal ke truk pengangkut di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Ahad (12/1).
Foto: dokrep
Proses bongkar muat batu bara dari kapal ke truk pengangkut di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Ahad (12/1).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tidak melarang adanya kegiatan ekspor batu bara ke Filipina pasca-pembajakan kapal pengangkut batu bara oleh kelompok pecahan Abu Sayyaf beberapa waktu lalu.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengungkapkan, pada dasarnya pihaknya tidak ingin melanggar kebijakan yang dirilis oleh Kementerian Luar Negeri tersebut. Hanya saja, ia mengkhawatirkan perihal kontrak pembelian yang terlanjut diteken sebelumnya.

Bambang menyebutkan, penyetopan kegiatan pengangkutan batu bara menuju Filipina belum disertai dengan kebijakan untuk mengganti rugi segala kontrak yang sudah diteken antara perusahaan batu bara Indonesia dengan pembeli di  Filipina. Untuk menyiasatinya, Bambang menilai pengiriman batu bara bisa saja tetap dilakukan tanpa melewati daerah yang dianggap berbahaya, yakni Perairan Sulu Selatan yang menjadi perbatasan antara Kalimantan dan Filipina.

"Sebetulnya bukan moratorium, itu artinya mengingatkan. Masalahnya keselamatan pembajakan itu. Kalau bilangnya moratorium, kalau ada kontrak yang sudah terlanjur dijanjikan itu siapa yang nanggung? Kalau force majeur, itu pemerintah mau nanggung kontrak yang itu?" kata Bambang saat ditemui di Kementerian ESDM, Senin (27/6).

Bambang menambahkan, yang terpenting saat ini memang menjaga keamanan di perairan rawan pembajakan agar tidak terjadi lagi pembajakan seperti yang sudah0sudah. Hanya saja, ia mengaku sedang melakukan pembahasan agar kegiatan ekspor batu bara tetap berjalan sehingga kontrak tidak terhambat.

"Ya nanti kan caranya gimana. Tapi bagaimana dia sampai Filipina tanpa melalui Sulu Selatan, di situ ada pembajakan. Masalah keamanan aja," katanya.

Sementara itu, Kepala Komunikasi Perusahaan PT Adaro Energy Tbk Febriati Nadira menjelaskan bahwa pada 2015 lalu, jumlah ekspor batu bara oleh Adaro ke Filipina mencapai tiga persen dari total penjualan batu bara sepanjang tahun lalu sebesar 53,11 juta ton. Sebagian besar pelanggan di Filipina adalah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

"Adaro membicarakan dan mendiskusikan dengan customer yang meminta dilakukan pengapalan melalui daerah rawan pembajakan tersebut," kata Febriati.

Jika tetap ingin dilakukan pengapalan, kata Febriati, maka pembeli dinilai lebih memahami lokasi daerah rawan pembajakan. Adaro menyarankan konsumen untuk memenuhi persyaratan kelengkapan emergency yang harus dimiliki kapal, khususnya kesiapan untuk kejadian pembajakan.

"Selain itu juga agar pembeliannya dilakukan secara Freight on Board (FOB) pelabuhan Adaro. Sehingga tanggung jawab pengapalan ke customer menjadi tanggung jawabnya sendiri," katanya.

Sebelumnya, Panglima TNI Gatot Nurmantyo menyebut Kementerian Perhubungan sebenarnya sudah melakukan moratorium izin pelayaran ke perairan yang berbatasan dengan Filipina. Karenanya, ia mempertanyakan izin kapal pembawa batu bara yang menjadi korban pembajakan saat menuju Manila.

Gatot meyakini, pembajakan dan penyanderaan jilid tiga ini lagi-lagi bermotif ekonomi. Namun, sama seperti dua kejadian sebelumnya, dia menegaskan pemerintah berkomitmen tak mau membayarkan uang tebusan sebagai syarat pembebasan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement