REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Anggaran DPR meminta agar pemerintah bisa mempersempit defisit yang saat ini diasumsikan 2,48 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Masukan ini karena DPR menganggap bahwa asumsi penerimaan dari minyak dan gas (migas) akan meningkat seiring pertumbuhan sektor migas.Wakil Ketua Badan anggaran (Banggar) Said Abdullah mengatakan bahwa asumsi pemerintah atas sektor migas telah mengalami perubahan.
Untuk harga minyak dari awalnya ditaksir 35 dollar AS per barel dalam rancangan perubahan APBN (RAPBNP) menjadi 40 dolar AS per Barel. Lifting minyak juga diprediksi naik dari 810 ribu barel per hari (bph) menjadi 820 ribu bph. Lifting gas juga diprediksi meningkat dari 1,115 juta setara setara minyak per hari (bsmph) menjadi 1,150 juta bpsmh.
"Dari peningkatan harga ICP dan lifting saja, itung-itungan saya penerimaan bisa naik triliunan," ujar Said dalam rapat Banggar, Kamis (16/6).
Selain adanya peningkatan dari migas dengan peningkatan harga dan produksi yang membaik, Said menilai bahwa pemeritah harus mengurangi subsidi ke perusahaan-perusahaan di bawah BUMN. Pengurangan ini bukan berarti mengurangi porsi subsidi, tapi bagaimana agar subsidi ini bisa dibayarkan tidak langsung pada 2016.
Said menjelaskan, untuk permintaan kenaikan subsidi listrik dari Rp 38,38 triliun pada pagu anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) induk 2016 menjadi Rp 56,68 triliun pada RAPBNP 2016, dianggap tidak tepat. Sebab saat ini banyak subsidi listrik yang justru dinikmati masyarakat mampu.
"Kami ingin mengurangi perkiraan defisit anggaran 2,48 persen dari PDB, karena itu besar," ungkap Said.
Dengan perbaikan asumsi dan pemotongan subsidi yang selama ini cukup tinggi, pemerintah bisa mempersempit defisit dari 2,48 persen ke 2,25 atau 2,30 persen dari PDB. Bahkan sebenarnya pemerintah bisa menurunkan defisit ini menjadi 2,15 persen jika serius dalam mengurangi subsidi-subsidi dan memaksimalkan penerimaan.