Ahad 22 May 2016 23:37 WIB

Pasar KPR Lesu, Ini Harapan IPW Soal Relaksasi Uang Muka Rumah

Rep: c37/ Red: Dwi Murdaningsih
Pekerja mengerjakan proyek pembangunan rumah bersubsidi tipe 22 dan 36 di salah satu perumahan di wilayah Ciomas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (26/4).
Foto: Antara/Arif Firmansyah
Pekerja mengerjakan proyek pembangunan rumah bersubsidi tipe 22 dan 36 di salah satu perumahan di wilayah Ciomas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (26/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana Bank Indonesia (BI) untuk melonggarkan aturan Loan to Value (LTV) untuk Kredit Perumahan Rakyat (KPR) disambut baik oleh Indonesia Property Watch (IPW). Sebab, peraturan yang dikeluarkan Bank Indonesia pada tahun lalu dinilai masih belum bisa mendongkrak pasar KPR.

Direktur Eksekutif IPW, Ali Tranghanda mengatakan, ada banyak yang harus dilonggarkan mengendarai aturan KPR Inden dan LTV. "Peraturan yang terakhir pun, tahun 2015, tidak bisa menggerakkan pasar nih. Makanya kita intens ke BI minta lagi bisa nggak ada relaksasi kebijakan," kata Ali Tranghanda pada Republika, Ahad (22/5).

Pada pertengahan tahun lalu, BI telah melonggarkan aturan LTV terkait kredit perumahan dan kendaraan bermotor. Aturan tersebut tertuang di PBI Nomor 17/10/PBI/2015 yang mulai berlaku sejak 18 Juni 2015.

Pada aturan yang baru besaran uang muka kredit perumahan diturunkan sebesar 10 persen untuk perbankan konvensional dan 5 persen untuk perbankan syariah. Untuk aturan yang baru nanti, kata Ali, pihaknya meminta jika untuk rumah menengah ke bawah uang mukanya sebesar 0 persen. Menurutnya hal itu memungkinkan karena berbeda dengan kendaraan bermotor, tanah tidak akan hilang dibawa kabur.

"Terus kalau untuk menengah ke bawah, yang subsidi FLPP itu kan inden. Itu berarti rumah udah jadi, pengembang nggak akan kabur, nah berarti aman, DP 0 persen nggak ada masalah," katanya.

Sementara untuk aturan Loan to Value, untuk rumah kedua dengan uang muka 10 persen. Sedangkan untuk rumah ketiga, uang muka 40 persen tidak ada masalah. Menurut Ali, untuk rumah pertama harusnya diberikan uang muka 0 persen karena merupakan kebutuhan hunian. Sementara rumah kedua dan selanjutnya merupakan aset. Sehingga tidak masalah jika harus diperketat aturannya.

"Rumah pertama, anggap lah DP nya kita permudah sampai semudah-mudahnya. Yang kedua, itu motif spekulasi, itu investasi. Investasi properti itu nggak masalah. Misalnya saya beli untuk anak saya satu. Tapi untuk rumah ketiga hingga kelima ada motif spekulasi disana, silahkan diperketat," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement