Jumat 20 May 2016 16:27 WIB

Kredit Perbankan Diperkirakan Masih Bisa Naik

Rep: C37/ Red: Nur Aini
Kredit (ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan
Kredit (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menilai transmisi kebijakan moneter terhadap kredit masih belum berjalan optimal, dengan pertumbuhan kredit sebesar 8,7 persen (yoy) hingga akhir Maret 2016. Ekonom dari Kenta Institute, Eric Sugandi memproyeksi, kredit perbankan pada 2016 akan tumbuh 12 persen.  

"Saya memproyeksikan pertumbuhan kredit perbankan 12 persen per akhir tahun 2016. Jadi akan lebih tinggi dibanding 10,1 persen di tahun 2015," kata Eric Sugandi pada Republika.co.id, Jumat (20/5).

Eric menjelaskan, pertumbuhan kredit perbankan yang sedikit lebih cepat pada 2016, karena faktor dari sisi penawaran dan permintaan. Dari sisi penawaran, ada pelonggaran kebijakan moneter oleh BI yaitu dengan penurunan BI Rate dan Giro Wajib Minimum (GWM) primer. Dari sisi permintaan, peningkatan permintaan akan kredit sejalan dengan meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi yang diperkirakannya berada di 5,0 persen.

Kendati begitu, kata Eric, ada risiko jika ternyata investasi swasta tumbuh lambat. Karena investor masih wait and see akibat adanya gejala pelemahan permintaan dari rumah tangga.

"Jadi saya lihat pertumbuhan kredit bisa di kisaran 10 persen jika ternyata investor swasta masih menunggu," jelasnya.

Revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi 2016 dari 5,2-5,6 persen menjadi di kisaran 5,0-5,4 persen, juga turut mempengaruhi. Eric menjelaskan, pertumbuhan ekonomi akan mempengaruhi demand terhadap kredit perbankan.

"Jika pertumbuhan ekonomi tahun ini sedikit lebih baik dari tahun lalu, ada kemungkinan kredit perbankan bisa tumbuh sedikit lebih tinggi daripada tahun lalu," katanya.

Dari segi investasi, kata Eric, dengan belum diberikannya rating investment grade dari lembaga pemeringkat investasi S&P juga menghambat masuknya investasi. Hal ini berarti belum ada stimulus baru yang bisa memicu capital inflows secara signifikan ke pasar obligasi dan menolong rupiah.

"Mungkin S&P juga pertimbangkan ada risiko pembengkakan defisit APBN dan target pertumbuhan pemerintah yg tidak tercapai tahun ini," ujarnya.

Menurutnya, kalau rupiah terus tertekan dalam waktu lama, investasi di sektor riil juga bisa terganggu karena banyak perusahaan yang menggunakan barang modal dan input produksi yang diimpor.

Sementara, untuk rasio kredit bermasalah (Nonperforming Loan/NPL) diproyeksikan sebesar 2,6 persen. Saat ini, NPL industri perbankan berada di 2,8 persen.

Baca juga: BI Akui Kebijakan Moneter Terhadap Kredit Belum Optimal

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement