REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaku industri hulu minyak dan gas bumi yang tergabung dalam Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA) mendesak pemerintah untuk mulai memberikan insentif eksplorasi dan menghapuskan hambatan-hambatan investasi. Bentuk insentif dan penghapusan hambatan tersebut di antaranya adalah skema sliding-scale yang menarik, penghapusan pajak tak langsung pada tahap eksplorasi, insentif fiskal yang bersaing secara global, ring-fencing yang berlaku pada lingkup negara, penyederhanaan izin, dan koordinasi yang lebih baik antarlembaga kementerian.
IPA menilai, meski pertumbuhan ekonomi Indonesia terus membaik, namun masih terdapat beberapa tantangan di industri minyak dan gas (migas), termasuk hambatan regulasi dan kebijakan dalam masa eksplorasi. Penyelesaian tantangan ini dinilai bisa mendorong Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Wajong menyatakan, salah satu jurus jitu untuk membangkitkan industri hulu migas saat ini adalah dengan peningkatan eksplorasi yang akan berakibat pada peningkatan produksi, serta mekanisme untuk meningkatkan kegiatan eksplorasi, termasuk dengan memberikan insentif dan menghapus hambatan investasi.
Wajong mencatat, kegiatan eksplorasi di Indonesia saat ini sudah sangat rendah. Menurutnya, jumlah sumur yang dibor beberapa tahun terakhir sangat sedikit dan tanpa temuan yang signifikan. Situasi ini diperparah dengan turunnya harga minyak pada 2014 hingga 2016 ini.
"Industri migas Indonesia berada pada tahap kritis karena produksi yang terus menurun dan permintaan yang terus meningkat, dalam beberapa dasawarsa terakhir," ujar Wajong, di Jakarta Jumat (13/5).
Ia mengungkapkan selama ini Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) membayarkan biaya yang timbul selama tahap eksplorasi, dan kebanyakan dari mereka tak dapat melanjutkan ke tahap produksi. Akibatnya, KKKS tidak mendapatkan perlakuan pengembalian biaya (cost recovery). Meskipun begitu, lanjut Majong, KKKS masih menghadapi kesulitan yang sangat berat dalam perizinan dan persetujuan pada tahap eksplorasi.
"Proses perizinan dan persetujuan pada tahap eksplorasi hendaknya disederhanakan," ujarnya.
Ia menyatakan, insentif yang menarik salah satunya dengan mengizinkan satu kontraktor untuk memegang lebih dari satu KKS selama tahap eksplorasi. Artinya, kontraktor yang sama dapat melakukan kegiatan eksplorasi pada beberapa area kontrak. Apabila ditemukan cadangan yang ekonomis, pada kontraktor tersebut akan diterapkan ring-fencing.
"Bagi Kontraktor KKS yang sudah pada tahap produksi, IPA merekomendasikan untuk tidak diberlakukan ring-fencing dalam area kontrak—nantinya, biaya eksplorasi akan mendapatkan cost- recovery dari produksi yang ada," ujar dia.
IPA, menurut Majong, melihat bahwa industri migas Indonesia perlu segera berbenah. Ia menilai bahwa dalam beberapa dasawarsa terakhir ini industri migas Indonesia telah menjadi industri yang diatur dengan ketat, ditambah lagi dengan regulasi dari beberapa kementerian yang tidak terkoordinasikan dan tidak terpadu satu sama lain.
Situasi ini ia anggap membawa kesulitan ketika kontraktor melakukan kegiatan eksplorasi. Majong juga mendesak pemerintah agar menghapuskan hambatan-hambatan tersebut, termasuk dengan pengadaan lahan, pemajakan tak langsung, dan proses pengembalian area kerja dan perizinan.
IPA juga mencatat, penurunan kinerja eksplorasi di Indonesia beberapa dasawarsa terakhir disebabkan beberapa faktor. Faktor tersebut di antaranya adalah kondisi geologis yang kompleks, keterbatasan data, regulasi, dan kebijakan fiskal yang kurang menarik.