REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah harus pemberdayaan petani jagung dalam negeri untuk mencukupi kebutuhan bahan pakan ternak. Namun jika pemerintah ingin memberlakukan pembatasan impor tentunya harus dibarengi dengan data produksi dalam negeri yang akurat.
Pendapat tersebut disampaikan oleh Ketua Umum Gabungan Perusahaan Perunggasan Indonesia (Gappi) Anton J Supit menyikapi kebijakan pemerintahan dalam membatasi impor terhadap produk jagung dan kedelai pakan ternak. Kebijakan yang telah dilakukan sejak Agustus 2015 itu membuat konsumen merugi karena harga melambung tinggi.
"Puncaknya terjadi pada saat dimulainya pembatasan impor. Harga jagung naik dari sebelumnya Rp 3.000, menjadi Rp 7.000, per kilogramnnya," kata Anton.
Lebih jauh Anton juga mengingatkan bahwa cara berpikir yang keliru kalau semangat anti-impor itu dijadikan dogma yang bersifat dosa. ''Itu sudah tidak benar. Kalau negara lain sudah berpikir seperti itu, lantas barang kita nanti mau dijual kemana?'' ujarnya sambil mengingatkan pentingnya meningkatkan daya saing produk pertanian Indonesia.
Lantas berkaitan dengan peran Bulog yang sekarang ini diberi kewenangan mengendalikan keran impor, Anton berharap pemerintah seharusnya bisa mengikuti aturan. Semestinya, kata dia, kewenangan ekspor dan impor itu ada di bawah kendali Kementerian Perdagangan. Sementara kementerian pertanian itu bertanggungjawab untuk membela petani.
''Tentunya harus ada koordinasi agar tidak ada overlapping. Oleh karena itulah, peranan menteri koordinator menjadi penting (untuk mekanisme impor) karena di sini ada dua kepentingan, konsumen dan petani,'' katanya.