Senin 21 Mar 2016 16:32 WIB

Penurunan Harga BBM Subsidi Diminta Sesuai Keekonomian

Red: Nur Aini
Tahun 2015 Premium Tidak Bersubsidi: Petugas mengisi bahan bakar minyak (BBM) jenis premium di SPBU, Jakarta, Jumat (19/12).
Foto: Republika/Yasin Habibi
Tahun 2015 Premium Tidak Bersubsidi: Petugas mengisi bahan bakar minyak (BBM) jenis premium di SPBU, Jakarta, Jumat (19/12).

REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA -- Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada Fahmi Radhi mengatakan rencana penurunan harga bahan bakar minyak bersubsidi April-Juni 2016 sebaiknya langsung menyesuaikan harga keekonomian dengan memanfaatkan momentum penurunan harga minyak dunia.

"Seharusnya pemerintah berani menurunkan harga BBM sesuai dengan keekonomiannya untuk mendongkrak daya beli masyarakat dan menekan laju inflasi," kata Fahmi di Yogyakarta, Senin (21/3).

Menurut Fahmi, apabila harga BBM bersubsidi baik premium maupun solar tetap dievaluasi secara bertahap tiga bulan sekali, dikhawatirkan akan kehilangan momentum pelemahan minyak dunia yang sempat menyentuh 30 dolar Amerika Serikat (AS) tersebut, meski terakhir kembali menguat hingga di kisaran 40 dolar AS per barel.

Sebelumnya pada Jumat (18/3) minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman April melonjak 1,74 dolar AS (4,5 persen) menjadi berakhir di 40,20 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange. "Masih rendah karena masih di bawah asumsi minyak mentah (ICP) dalam APBN 2016 yang dipatok 50 dolar AS per barel," kata dia.

Idealnya, menurut dia, sesuai harga keekonomiannya saat ini, harga BBM jenis premium memungkinkan langsung ditekan hingga mencapai Rp 5.500 per liter, sementara untuk solar ditambah dengan subsidi pemerintah dapat ditekan hingga Rp 4.250 per liter.

"Karena belum tentu kan tiga bulan setelah harga BBM bersubsidi diturunkan minyak dunia tidak akan naik kembali," kata dia.

Ia berpendapat evaluasi harga BBM bersubsidi cukup disertai dengan penetapan ambang batas atas dan batas bawah. Dengan demikian, gejolak harga minyak dunia yang diperkirakan akan terus berlangsung tidak mengganggu stabilitas perekonomian nasional.

"Dengan evaluasi harga yang akan terus berlangsung secara berkala tidak menutup kemungkinan mengganggu aktivitas dunia usaha," kata dia.

Selanjutnya, Fahmi menambahkan ekspor minyak sebaiknya juga tidak perlu menjadi andalan, selain disebabkan terus menurunnya harga minyak dunia, produktivitas minyak nasional juga rendah. Indonesia, kata dia, tetap harus meningkatkan volume produksi minyak mentah dengan memperbaiki kilang-kilang yang ada. Apalagi konsumsi BBM masyarakat saat ini telah mencapai 1.400 barel per hari, sementara produktivitas kilang minyak nasional hanya mencapai 800-900 barel per hari.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement