REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah tengah mengusulkan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Cara ini diharap bisa membuat perusahaan atau perorangan yang memiliki utang pajak kepada negara kemudian membayar walaupun dengan wajib pajak yang lebih rendah.
Pengamat perpajakan Yustinus Prastowo menjelaskan, kebijakan ini dianggap baik untuk mengembalikan dana pemerintah yang selama ini hilang. Meski demikian, pemerintah juga harus mengantisipasi adanya permainan dalam menunggu tax amnesty ini digulirkan secara resmi.
Menurut Yustinus dengan tax amnesty, sejumlah perusahaan atau peroangan yang tengah diperiksa perpajakannya oleh Direktorat pemeriksaan dan penagihan pajak, bisa saja diperlama. Dengan jangka waktu pemeriksaan selama delapan bulan sesuai peraturan menteri keuangan (PMK) Nomor 17 Tahun 2013, bisa terjadi penyelewengan agar perusahaan yang telah diselidiki menunggu untuk menggunakan kebijakan pengampunan pajak.
"Ini moral hazard (merugiakan banyak orang) paling besar. Kalau penyelidikan dan perusahaannya sedang disidik sebelum P21, dia mendapat pengampunan," ujar Yustinus, Kamis (3/3).
Yustinus menerangkan, saat perusahaan diselidiki artinya mereka kemungkinan besar nantinya akan membayar pajak sebesar 30 persen. Namun saat perusahaan dan pemeriksan bisa menunggu sampai tax amnesty ini rampung di DPR, maka perusahaan dengan enteng membayar pajak dua persen.
Selain itu, pemerintah juga harus memperhatikan jika ada perusahaan atau perorangan yang bermain dengan penambahan utang untuk mengurangi nilai harta bersih yang mereka miliki. Sebab dalam pembayaran wajib pajak, penghitungannya menggunakan tarif bersih. "Bisa saya ambil utang banyak, supaya bayar tebusannya (pajak) kecil," kata Yustinus.
Untuk mengantisipasi kemungkinan ini, pemerintah baiknya melakukan pengawasan lebih ketat pada manajemen kasus perpajakan. Pemerintah harus bisa mengawasi berapa banyak surat sprindik ini keluar dan terselesaikan dengan baik.