Jumat 26 Feb 2016 21:25 WIB

JK Harap RUU Pengampunan Pajak Segera Dibahas

Red: Nur Aini
Petugas Keamanan melintas di kantor pusat Pajak, Jakarta Senin (11/1).
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Petugas Keamanan melintas di kantor pusat Pajak, Jakarta Senin (11/1).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Wakil Presiden Jusuf Kalla berharap rancangan undang-undang tentang pengampunan pajak atau tax amnesty dapat dibahas di masa sidang DPR berikutnya.

"Mudah-mudahan masa sidang yang akan datang akan diselesaikan, masih ada waktu enam bulan," kata Wapres Kalla di Jakarta, Jumat (26/2).

Dengan ditundanya pembahasan RUU tersebut, maka pengeluaran Pemerintah dalam anggaran pendapatan dan belanja (APBN) perubahan Tahun 2016 harus disesuaikan. "APBNP itu akan disesuaikan dengan kondisi hari ini. Jadi memang bisa saja kalau penerimaan perkiraan pajak menurun, ya itu pengeluaran harus disesuaikan," ujarnya.

Sementara itu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan rencana pengampunan pajak menjadi alasan dominan dalam pengajuan RAPBN-P sehingga revisi angka penerimaan pajak sangat tergantung pada keberhasilan pemerintah dalam melaksanakan kebijakan tersebut. Kemungkinan revisi target penerimaan pajak dari yang tercantum dalam APBN sebesar Rp 1.360,1 triliun itu juga disebabkan oleh perubahan asumsi harga ICP minyak serta turunnya harga komoditas.

Namun, bila pengampunan pajak tidak sepenuhnya berhasil mendorong penerimaan dan pendapatan dari sektor migas terganggu, maka Pemerintah juga menyiapkan skenario pesimistis dalam revisi anggaran, yaitu melakukan pemotongan belanja.

"Kami harus membuat penerimaan lebih tepat. Kalau lebih pesimistis dengan tidak ada tax amnesty dan penerimaan migas, pasti ada pemotongan belanja, bisa KL atau daerah yang tentunya bisa menganggu pertumbuhan ekonomi," ujar mantan Plt. Kepala Badan Kebijakan Fiskal ini.

Terkait dengan waktu yang tepat untuk pengajuan RAPBN-P ini, Bambang tidak mengatakan secara detail. Akan tetapi, hal itu masih menunggu selesainya pembahasan UU Pengampunan Pajak antara pemerintah dan DPR.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement