REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaku usaha pertambangan dalam negeri ternyata masih enggan menyerap konten lokal karena pajak yang dikenakan lebih tinggi dibanding barang impor.
Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono mengungkapkan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada produk lokal sebesar 10 persen dinilai masih memberatkan pengusaha.
"Permasalah pemerintah juga masih karena pemberlakuan PPN terhadap Penyerapan produk dalam negeri. PPN yang ditransaksikan pada barang modal dalam negeri biasanya lebih mahal dari pada dari luar," ungkap Bambang dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (24/2).
Ia menyebutkan, PPN yang diberlakukan sebesar 10 persen membuat harga barang modal dalam negeri menjadi lebih tinggi. Padahal kata dia, jika barang modal berasal dari luar negeri harga untuk barang jenis yang sama akan lebih murah karena fasilitas bea masuk yang meringankan. Sehingga dirinya mengaku hal ini perlu segera dibenahi.
"Harga menjadi problem, karena barang impor yang memiliki fasilitas bea masuk itu kadang lebih murah dari pada dibeli di dalam negeri yang mendapat tambahan PPN 10 persen. Ini perlu dibenahi," jelas Bambang.
Meski dari segi fiskal memang terganjal, Bambang mendesak para produsen dalam negeri untuk terus meningkatkan kualitas. Alasannya, agar ketika permasalahan pengenaan PPN 10 persen bisa diatasi, kualitas barang dalam negeri sudah siap bersaing.