Rabu 17 Feb 2016 15:33 WIB

Indonesia Jangan Mau Didikte Asing Soal Sawit

Rep: Sonia Fitri/ Red: Nidia Zuraya
Kelapa sawit
Kelapa sawit

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai salah satu produsen sawit terbesar di dunia, Indonesia terus mengupayakan peningkatan kapasitas dan pengelolaan sawit berkelanjutan. Pemerintah juga telah menetapkan standar pengelolaan sawit yang menguntungkan petani dan pengusaha sawit nasional.

Kendati sudah ada aturan baku yang dibuat pemerintah, namundiakui Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) Gamal Nasir, masih banyak perusahaan sawit nasional yang mengacu pada standar aturan yang dibuat oleh para pemain asing. Salah satunya adalah standar sustainable bernama Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).

"Itu kan politik dagang, janganlah menyerang petani, jangan kita takut pada negara luar," kata Gamal dalam Konferensi Pers bertema “Bermartabatkah Sawit Kita!” di Jakarta, Rabu (17/2).

Gamal menyayangkan perusahaan besar Indonesia yang ikut menandatangi perjanjian IPOP. Sebab dalam perjanjian tersebut. Ia bahkan meminta agar IPOP dibubarkan saja karena banyak aturan-aturan yang membebani petani kelapa sawit.

Ia menguraikan, dari total luas areal perkebunan kelapa sawit yang mencapai 10,5 juta hektare (ha), hampir setengahnya dimiliki petani swadaya. Perjanjian ISPO akan memberi dampak merugikan kepada petani-petani tersebut.

Memang harus diakui, lanjut Gamal, petani kelapa sawit zaman dahulu masih banyak yang menam di lahan gambut. Tapi aturan IPOP membuat petani yang telanjur menanam di lahan gambut menjadi kesulitan menjual produknya. Kesulitan juga akan dialami petani perkebunan tanaman buah segar (TBS) yang menanam di lahan marginal.

"Jika sampai perusahaan benar-benar menolak TBS milik petani karena telah melanggar aturan dari IPOP, ini sama saja IPOP telah menyengsarakan petani,” tegas Gamal.

Baca juga: Kementan Turunkan Tim Pemantau ke Pasar Tradisional

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement