REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski sebagian negara-negara Timur Tengah terutama anggota Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) mengurangi subsidi, peluang ekspor produk halal Indonesia ke sana masih terbuka.
Direktur Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah (CIBEST) IPB Irfan Syauqi Beik mengatakan, di tengah harga minyak yang masih lesu, ekspor Indonesia memang mendapat tantangan, apalagi Indonesia sedang mencari pasar baru termasuk Timur Tengah, terutama GCC.
Negara-negara pengekspor minyak seperti Arab Saudi, Bahrain dan Qatar sudah defisit APBN serta mulai mencabut beberapa subsidi bagi masyarakat. ''Itu bisa jadi berpengaruh, tapi belum signifikan. Ekspor Indonesia ke OIC baru 12 persen, kalau ada guncangan, dampaknya tidak terlalu besar,'' kata Irfan belum lama ini.
Mengacu pada laporan States of Global Islamic Economy 2015-2016 terbitan Thomson Reuters, Pusat Ekonomi Islam Dubai dan Dinar Standard, konsumsi makanan dan minuman halal masih terus tumbuh positif dengan rata-rata 12,8 persen per tahun.
Meski ekonomi negara lesu, Irfan menilai pemerintah negara-negara GCC pasti akan menjaga daya beli. Terlebih di sana belum ada pemberhentian pekerja secara masif meski subsidi dikurangi.
''Dengan pendapatan tinggi, 102 ribu dolar AS per tahun di Qatar misalnya, daya beli mereka masih bagus. Subsidi berkurang pun masih terjangkau untuk mereka. Ditambah bantuan sosial negara, daya beli masyarakat GCC tidak trurun signifikan,'' tutur Irfan.
Peluang menarik turis halal masih terbuka. Belanja warga GCC untuk berwisata juga tidak berkurang. Hal ini menjadi indikator relatif tahannya masyarakat di sana walau ekonomi nasionalnya melambat. ''Krisis itu ada di pemerintah dan rakyat dijaga daya belinya dengan menjaga kestabilan harga,'' ujar Irfan.
Berhadapan dengan defisit APBN, ia melihat pemerintah negara-negara GCC memanfaatkan cadangan devisa dan menarik investasi di luar. Sehingga beban tidak sepenuhnya dilimpahkan kepada rakyat.
Yang jadi soal kalau konflik di beberapa negara Timur Tengah masuk ke GCC. Selama itu tidak terjadi, masih ada peluang buat Indonesia menarik wisatawan dari sana. Ini juga momen untuk menawarkan produk halal Indonesia yang mengandalkan sumber daya domestik seperti agribisnis dan kelautan yang modalnya rupiah.
Meski belum membawa dampak, Indonesia perlu tetap hati-hati dengan turunnya harga minyak. Segala kerja sama asing yang dibuat harus di pastikan menguntungkan Indonesia. Selain itu, Indonesia juga harus fokus ke pasar dan industri domestik.
Berdasarkan laporan States of Global Islamic Economy 2013-2014, 2014-2015 dan 2015-2016, belanja Muslim untuk makanan minuman halal dan gaya hidup (//fashion//, wisata, obat, kosmetik, media dan rekreasi) mencapai 1,62 triliun dolar AS pada 2012, dua triliun dolar AS pada 2013 dan turun menjadi 1,8 triliun dolar AS pada 2014.
Untuk makanan dan minuman halal saja, nilainya mencapai 1,088 miliar dolar AS pada 2012, 1,081 miliar dolar AS pada 2013 dan meningkat 4,3 persen menjadi 1,128 miliar dolar AS pada 2014.
Nilai belanja makanan dan minuman halal pada 2014 itu setara 16,7 persen dari total belanja global untuk makanan dan minuman dan nilainya diprediksi akan mencapai 2,6 triliun dolar AS pada 2020.
Selama tiga tahun berurut itu pula, Malaysia jadi indikator terdepan dalam produksi makanan halal dan jadi tujuan utama wisata halal. Sementara konsumen makanan dan minuman halal terbesar adalah Indonesia, Turki, Pakistan dan Mesir.