REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kapal Ternak Camara Nusantara I kembali beroperasi untuk kedua kalinya di Februari 2016.
Meski kali ini berhasil mengangkut penuh sapi-sapi lokal, namun harga daging di tingkat konsumen masih melambung tinggi.
Padahal, pemerintah menargetkan harga daging sapi turun hingga Rp 80 ribu per kilogram pascakapal ternak beroperasi.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari infopangan.jakarta.go.id, harga daging sapi per 8 Februari 2016 tercatat stabil tinggi Rp 127.857 per kilogram. Hal serupa terjadi untuk daging sapi murni yakni tercatat Rp 119.285 per kilogram. Pemerintah berpendapat, harga daging sapi paha belakang dianggap normal jika harganya di bawah Rp 100 ribu.
"Ini agenda jangka panjang, bukan hari ini masuk harga (daging) sapi langsung bisa turun, yang penting kita memulai dulu," kata Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman dalam acara penyambutan Kapal Ternak Camara Nusantara I pengangkutan Jilid II di Pelabuhan Tanjung Priok, Selasa (9/2).
Kapal ternak juga mampu menghemat biaya angkut ternak dan meminimalisir susut ternak hanya 5 persen. Mentan menguraikan, perbandingannya jika tanpa kapal, biaya angkut Rp 1,8 juta per ekor sampai Jakarta.
Tapi dengan menggunakan kapal, biayanya hanya Rp 320 ribu per ekor. Efisiensi juga merambah aspek waktu angkut di mana kapal ternak mempercepat waktu angkut hanya 3-5 hari saja dari biasanya 1,5-2 bulan.
Keberadaan kapal ternak, lanjut dia, memiliki agenda besar mengubah struktur pasar. Selain itu ia juga berguna memperpendek rantai pasok dan mempersingkat distribusi. Kapal ternak menurut Amran sekaligus menegaskan sapi lokal mampu memenuhi kebutuhan daging sapi nasional.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Viva Yoga Mauladi meminta pemerintah menghentikan saja Program Kapal Ternak untuk mengangkut sapi dari NTT. Sebab hanya akan menimbulkan inefisiensi.
"Apalagi kalau kapalnya kosong, karena cari sapinya pun susah," katanya.
Ia melihat tujuan pemerintah baik karena berniat menyederhanakan tata niaga distribusi sapi. Tapi konsekuensinya pemerintah harus mensubsidi sapi hidup di kapal hingga Rp 500 ribu per ekor. Artinya, uang negara hilang tapi ternyata tidak bisa menurunkan harga daging di pasar karena populasinya sedikit.
Viva mengistilahkan prraktik seperti ini semacam orang sakit kepala, minum obat generik lalu sembuh cepat. Tapi esok harinya sakit lagi.
"Ini kebijakan tambal sulam, pemerintah harusnya mendekatkan sentra-sentra produksi peternakan ke konsumen," ujarnya.
Lebih lanjut ia menguraikan, 60-70 persen kebutuhan sapi ada di Jabodetabek. Di situasi tersebut, seharusnya pemerintah serius membangun sentra peternakan di Jawa Barat dan Banten.
Terdapat 3,2 juta hektare lahan di tanah Jawa yang bisa dikembangkan sebagai sentra produksi sapi. Namun pemerintah malah mengambil sapi dari tempat yang jauh yakni NTT. Praktik itu pun tak menjamin peternak lokal setempat sejahtera.
Peningkatan populasi ternak lokal juga harus serius. Manajemen peternakan perlu diperbaiki salah satunya dengan program Sentra Peternakan Rakyat (SPR). Ia memuat kegiatan penyuluhan, bibit unggul.
Itulah cara terbaik meningkatkan produksi dalam rangka membangun blueprint peternakan ketika untuk sementara Indonesia masih impor daging.
Upaya lainnya yakni melakukan impor sapi betina produktif serta mencegah pemotongan sapi betina lokal di rumah potong hewan.