Rabu 27 Jan 2016 20:54 WIB

Demi Bertahan, Perusahaan Migas Efisiensi Semua Lini

Rep: Sapto Andika Chandra/ Red: Achmad Syalaby
Ilustrasi harga minyak mentah dunia.
Foto: EPA/Mark
Ilustrasi harga minyak mentah dunia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Harga minyak dunia yang tak kunjung merangkak naik tak pelak ikut memukul perusahaan minyak dan gas bumi yang beroperasi di Indonesia. Perusahaan harus berjuang hidup di saat harga jual minyak bumi tak memberikan untung banyak dibandingkan biaya produksinya.

Star Energy misalnya, yang memiliki kontrak kerja sama dengan pemerintah di Blok Kakap, Laut Natuna; Blok Sebatik di Kalimatan Utara; dan Blok Sekayu di Sumatera Selatan; terpaksa menyiapkan skenario terburuk menghadapai rendahnya harga minyak, termasuk dengan memutus hubungan kerja pegawainya.

Direktur Utama Star Energy Rudy Suparman bahkan telah menyebar memo internal untuk karyawannya agar bersiap melakukan efisiensi di semua lini. Rudy menyebut langkah ini sebagai upaya untuk mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan.

Dalam memo itu disebutkan, sepanjang tahun 2016 perusahaan akan melakukan optomisisasi biaya di semua aspek, terutama biaya operasional perusahaan. Tak hanya itu, Rudy juga menekankan bahwa perusahaan terpaksa melakukan perampingan tubuh usaha dengan melakukan pengurangan benefit dan pengurangan pekerja.

Dia menyebut, salah satu opsi terburuk adalah dengan perampingan sebanyak 40 persen pekerjanya. Angka ini didapat dari jumlah karyawan yang memasuki masa pensiun.

"Semua itu bergerak. Harga bergerak. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan, kalau harus lebih ya mau apa? Karena ini surviving masanya. Yang paling utama itu kelangsungan hidup perusahaan harus dijaga," kata Rudy, Rabu (27/1).

Rudy lantas menjelaskan, kondisi harga minyak yang rendah memaksa perusahaan menyetop belanja modal untuk kegiatan produksi minyak. Akibatnya, lanjut dia, produksi minyak terus merosot dan memangkas perolehan perusahaan.

Dengan begitu, Rudy menyebut adanya kondisi jumlah pegawai yang terlalu "gendut" dibanding dengan biaya yang harus dikeluarkan perusahaan. Rudy mengaku PHK bukanlah opsi yang diharapkan siapapun. Namun, kata dia, perusahaan sedang dalam status "bertahan hidup".

"Sebetulnya sampai saat ini kami bertahan untuk tidak PHK. Tapi sampai sekarang pertumbuhan kami negatif. Setiap kali ada yang pensiun, ada yang keluar, kita tidak ganti yang baru," kata Rudy.

Masalahnya, lanjut Rudy, harga minyak dunia tak bisa diprediksi dengan akurat. Rilis Bank Dunia yang menyebutkan prediksi harga minyak dunia 2016 ini berkisar antara 14 sampai 37 dolar AS per barel, menambah kegelisahan pelaku industri migas.

"Kalau itu (harga minyak) mencapai 14 dolar per barel, kita enggak usah efisiensi lagi. Kenapa? Terkapar sudah. Enggak mungkin lah 14 dolar untuk produksi di Offshore (lepas pantai)," kata dia.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement