Senin 28 Dec 2015 08:42 WIB

Pemerintah Harus Lebih Terbuka Soal Perhitungan BBM

BBM
Foto: VOA
BBM

REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Pengamat ekonomi Sumatera Utara, Wahyu Ario Pratomo meminta Pemerintah lebih terbuka dalam perhitungan harga bahan bakar minyak (BBM). Apalagi pemerintah berencana menurunkan kembali harga BBM pada 5 Januari 2016.

"Langkah kebijakan Pemerintah menurunkan BBM didukung, tetapi perlu lebih transparansi dalam perhitungannya agar tidak terus menjadi polemik dan mencerdaskan masyarakat," ujarnya, Ahad (28/12).

Menurut dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara (USU) itu, dalam beberapa kali penyesuaian harga BBM masih terlihat ketidaktransparanan dan ketidakkonsistenan dalam penetapan harga. Dia memberi contoh, harga BBM terakhir naik 1 Maret 2015 atau premium menjadi Rp7.300 dan solar Rp6.900 per liter. Kenaikan itu terjadi saat harga minyak mentah di pasar dunia sebesar 50 dolar AS per barel dan nilai tukar uang Rp13.000 per satu dolar AS.

Dengan harga minyak mentah saat ini berdasarkan MOPS Singapura yang lebih murah 22,5 persen dan nilai tukar uang yang melemah 6,2 persen dibandingkan kondisi Maret 2015, penurunan harga premium menjadi Rp7.150 per liter dinilai tidak proposional.

Hitungan harga BBM itu semakin dinilai tidak tepat karena dalam penetapan harga tersebut yang dihitung dari harga keekonomian yang Rp6.950 per liter ada tambahan pungutan dana ketahanan energi Rp200 per liter.

"Penurunan harga BBM khususnya premium yang hanya sebesar Rp150 per liter dan adanya pengutan dana ketahanan energi sangat tidak tepat," katanya.

Dia menegaskan, pungutan dana ketahanan energi tersebut yang menurut Menteri ESDM telah berdasarkan UU No. 30 tahun 2007 tentang Energi itu tidak tepat. Ketidaktepatan karena pungutan dana ketahanan energi berlandaskan UU No.30 tahun 2007 tentang Energi jelas tidak sah.

Alasan Wahyu, dalam pasal 30 ayat (4) UU itu tertulis bahwa ketentuan mengenai pendanaan (untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengembangan energi baru dan energi terbarukan) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah (PP).

Sampai saat ini, katanya, PP yang mengatur ketetapan besarnya pungutan dana ketahanan energi belum disusun dan Badan Pengelola Dana Ketahanan Energi yang bertanggung jawab dalam pengelolaan dana juga belum dibentuk.

"Pungutan dana ketahanan energi belum memiliki landasan hukum," katanya.

Mengacu pada hal itu, pungutan dana ketahanan energi dengan landasan UU No. 30 tahun 2007 tentang Energi itu jelas tidak konsisten. Pemerintah hanya menonjolkan isi ayat (3) Pasal 30 tahun 2007 tentang Energi saja dimana penelitian tentang energi baru dan terbarukan dibiayai dari pendapatan negara yang berasal dari energi tidak terbarukan, tanpa mengakomodir isi ayat (4) Pasal 30 tahun 2007.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement