REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kondisi ekonomi Indonesia di pengujung 2015 dinilai tidak cukup menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi yang mengindikasikan penurunan sejak 2011, hanya mencapai 4,8 persen.
Selain itu, kondisi kemiskinan naik menjadi 11,4 persen, pengangguran mendekati angka 6 persen dan rasio gini yang memberi petunjuk ketimpangan mencapai 0,432. Jika dilihat dari utang luar negeri (ULN), situasinya juga dinilai makin merisaukan. Utang luar negeri terhadap neraca transaksi berjalan yang dikenal dengan debt service ratio mencapai 60,40 persen, meningkat tajam dibanding 2014 yang mencapai 54 persen. Sedangkan rasio ULN terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 35 persen. "Artinya, kerja keras segenap lapisan bangsa digunakan untuk membayar cicilan ULN dan bunga, ditambah lagi dengan bayar bunga utang obligasi," ujar pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy, Rabu (23/12).
Kerentanan ekonomi itu selain ditandai dengan jatuhnya nilai tukar rupiah hingga 14 persen, juga tercermin pada defisit transaksi berjalan hingga 4 miliar dolar AS. Maka dalam hitungan sekitar 12 bulan, cadangan devisa pun terkuras sekitar 10 miliar dolar AS yang kini bertengger di jumlah 101,7 miliar dolar AS. "Situasi eksternal dan internal inilah yang meyakinkan saya bahwa pertumbuhan ekonomi 2015 tidak mungkin melampaui 4,8 persen," kata Ichsanuddin.
Menurut dia, perlambatan ekonomi bisa dikurangi intensitasnya jika masalah politik dan hukum dapat menumbuhkan keyakinan akan pastinya penegakan hukum. Namun, kondisi Indonesia selama 2015 dinilai belum menunjukkan kepastian penegakan hukum.