REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Berly Martawardaya menilai pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan mengikuti perjanjian Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) karena banyak persyaratan yang berat untuk dipenuhi.
"Kalau ingin ikut TPP maka komitmennya berat. Yang paling berat ketika bergabung dengan TPP maka tidak boleh memberikan perlakuan khusus kepada badan usaha milik negara (BUMN) yang artinya pemerintah tidak boleh setor modal lagi," katanya kepada Republika usai diskusi mengenai partisipasi Indonesia di perjanjian perdagangan regional: TPP vs regional comprehensive economic partnership (RCEP), di gedung The Habibie Center, Jakarta, Kamis (17/12) sore.
Selain itu, perdagangan domestik harus dibuka. Sehingga BUMN seperti PT Pos Indonesia harus siap bersaing Fed Ex yang mengirimkan surat ke kota-kota. Belum lagi maskapai penerbangan yang harus bersaing dengan maskapai asing dalam melayani rute di wilayah Tanah Air.
"Misalnya, rute penerbangan dari Jakarta ke Surabaya bisa menggunakan maskapai Malaysia Airlines dan maskapai lain bisa tutup," ujarnya.
Belum lagi perlu ada penyesuaian aturan hukum jika menjadi peserta TPP. Diantaranya perlu menyesuaikan dengan undang-undang (UU) minerba, UU sumber daya air, hingga UU migas dengan aturan yang ditetapkan TPP.
Meski demikian, ia tidak menampik TPP bisa memberikan peluang keuntungan. Diantaranya meningkatkan angka perdagangan.