REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah seretnya penerimaan pajak, pendapatan negara kian terancam dengan terus merosotnya harga minyak dunia. Target penerimaan negara dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) serta PPh migas dinilai bakal sulit tercapai.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, turunnya harga minyak memiliki dampak positif dan negatif.
"Negatifnya karena penerimaan negara dari PNBP dan PPh migas juga ikut turun," kata Suahasil kepada Republika.co.id, pekan ini.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi pendapatan negara hingga 30 Oktober 2015 baru mencapai 1.099 triliun atau 62,5 persen dari target APBN-P 2015 Rp 1.758,3 triliun. Penerimaan dari PPh migas mencapai Rp 43,4 triliun atau 87,5 persen dari target Rp 49,5 triliun. Sedangkan PNBP migas Rp 70,2 triliun atau 86,3 persen dari target Rp 81,4 triliun.
Sejak awal, pemerintah memang tidak terlalu menggantungkan penerimaan dari sektor migas. Ini lantaran pemerintah sudah memprediksi bahwa tren harga minyak dunia akan terus merosot sehingga mempengaruhi harga minyak mentah indonesia atau ICP. Dalam APBN-P 2015, ICP diasumsikan Rp 60 dolar AS per barel.
Suahasil mengatakan, penurunan harga minyak juga memiliki dampak positif. Dampak positif itu yakni berkurangnya nilai impor minyak dalam neraca perdagangan.
Dia mengatakan tren rendahnya harga minyak akan terus berlanjut pada 2016. Kalaupun naik tidak akan terlalu tinggi. "Karena itu, di APBN 2016, harga rata-rata ICP kami tetapkan hanya Rp 50 dolar AS per barel," ujarnya.
Harga minyak dunia memang terus merosot ke posisi terendah pada Rabu (9/12) pagi WIB. Harga minyak jenis light sweet atau west texas intermediate turun 14 sen menjadi 37,51 dolar AS per barel. Harga minyak dunia belum beranjak naik karena OPEC belum mau memangkas produksi.