REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan Muhammadiyah menilai perekonomian Indonesia di 2016 masih akan terus diseret oleh dinamika ekonomi dunia. Maka itu, diperlukan strategi yang dilakukan oleh semua pihak khususnya pemangku kebijakan publik dalam mensikapi keadaan ekonomi Indonesia kedepan.
Hal tersebut dinyatakan juru bicara Forum Dekan Ekonomi PTM se Indonesia, Mukhaer Pakkanna. Pernyataan itu juga berasal dari kajian terhadap economic outlook 2016 yang dilakukan oleh Forum Dekan Ekonomi Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) se Indonesia pada tanggal 26 – 27 November 2015 di Universitas Muhammadiyah (UM) Pontianak- Kalimantan Barat.
Menurutnya ada empat empat kekuatan yang akan menyeret ekonomi nasional, yakni melemahnya pertumbuhan ekonomi dunia, ketidakpastian kebijakan the Federal Reserve AS. Selain itu yang membuat ekonomi Indonesia tetap mengalami penurunan adalah melemahnya daya serap pasar dunia, termasuk Cina, dan kondisi geo-politik global yang makin tidak menentu.
Dalam kondisi seperti itu, posisi perekonomian Indonesia makin rapuh. Untuk menghindari kerapuhan pada 2016 itu, direkomendasikan beberapa langkah. Langkah itu yakni, pertama, penguatan basis produksi dan konsumsi nasional.
Dalam penguatan produksi, pemerintah diharapkan bisa fokus mengembangkan produksi berbasis substitusi impor yang lebih berorientasi padat karya dan memiliki kandungan lokal tinggi. Pilihan jenis produksi paling layak sebagai prioritas adalah sektor pertanian dan perikanan, terutama dalam rangka penguatan kedaulatan pangan.
Di data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, proporsi impor produk-produk barang modal, bahan baku dan bahan penolong secara bersama-sama mencapai 90 persen dari total impor Indonesia. Sayangnya, sampai saat ini pemerintah belum benar-benar terbukti serius mengupayakan pengurangan kebergantungan terhadap produk-produk barang modal, bahan baku dan bahan penolong dari luar negeri.
Kedua, penguatan basis pasar dalam negeri. Muhammadiyah menilai, perlu mengamankan pasar dalam negeri dari gangguan impor, memperluas pasar dan pusat distribusi, kepastian peredaran barang, serta memberikan peluang sebesar-besarnya bagi wirausaha nasional dalam memasok kebutuhan pasar dalam negeri, termasuk promosi penggunaan produk dalam negeri.
Ketiga, berkenan akses kredit usaha, maka di tengah ketidakpastian ekonomi pada 2016, diperlukan pemihakan pada pembiayaan pada usaha kecil dan mikro. Peningkatan akses kredit pada jenis usaha inidianggap sangat penting di tengah pelemahan ekonomi dunia dan nasional yang secara umum masih ditopang oleh kinerja korporasi-korporasi besar.
Pengucuran kredit ke sektor pertanian, perdagangan, ekonomi kreatif, industri padat karya, dinilai dapat menciptakan geliat kegiatan ekonomi masyarakat menengah ke bawah dan menjaga daya beli.
Data membuktikan, total Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan nasional yang jumlahnya sekitar Rp5.104 triliun hingga September 2015, seharusnya tidak hanya dilokasikan kepada sektor korporasi besar. Porsi kredit ke sektor korporasi besar jumlahnya mencapai 85 persen.
“Hal ini sensitif terhadap pertumbuhan PDB yang tinggi. Karenanya, perlu adanya alokasi ke sektor yang sensitif terhadap perluasan kesempatan kerja yang diperankan oleh usaha kecil dan mikro,”jelas Mukhaer.