REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menanggapi surat yang dikirimkan Ketua DPR Setya Novanto kepada Pertamina berkaitan dengan pembayaran penyimpanan BBM, PT Pertamina meminta pendampingan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta tetap berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina, Ahmad Bambang menjelaskan sejak awal permasalahan surat Setnov terkuak, pihaknya mengakui adanya kontrak dengan PT Orbit Terminal Merak (OTM). Kontrak ini terjadi pada Oktober 2014, dan ketika direksi baru terbentuk pada akhir tahun lalu, hal ini sudah menjadi sasaran KPK.
"KPK sudah sasar itu dan mengindikasikan itu tidak wajar lah. Dan untuk itu kami panggil. Kami nggak bisa bayar sampai ada negosiasi yang dicapai kedua belah pihak supaya harga dan kontrak ini wajar. Meskipun sudah dari Oktober, sampai sekarang Pertamina belum bayar," katanya, Jumat (20/11).
Ia melanjutkan, langkah selanjutnya adalah mengajak BPKP untuk meberikan asistensi terkait pemasaran. Selain itu juga Pertamina akan melibatkan Satuan Pengawas Internal (SPI). BPKP nantinya juga akan mendampingi untuk melakukan negosiasi dengan PT OTM.
"Karena ini masih negosiasi. Kami mengajak lembaga pemerintah yang lain, BPKP untuk mengasistensi Pertamina dan Pertamina melibatkan fungsi lain," ujarnya.
Negosiasi yang akan dilakukan selain tarif, lanjut Bambang, adalah toleransi loses. Pertamina menginginkan toleransi loses tidak lebih dari 0,2 persen.
"Toleransi losses mereka 0,3%, kita minta diturunin. Pertamina aja bisa kecil. Paling ga standar internasional lah, 0,2%. Kalau bisa 0,1% lebih bagus," katanya.