REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islamic Financial Services Board (IFSB) menggelar Sharī`ah Roundtable bertema ‘Financial Safety Nets : Striking a Balance between Sharī`ah Requirements and the Soundness of the Islamic Financial System’.
Kegiatan yang diadakan oleh lembaga yang beranggotakan bank-bank sentral di negara-negara anggota IFSB itu dilaksanakan di Kuala Lumpur, Malaysia, 5 November 2015. Diskusi syariah itu menampilkan empat pembicara dari berbagai negara.
Mereka adalah Dr Oni Sahroni MA (anggota Dewan Syariah Nasional-MUI) dan peneliti Syariah Economic and Banking Institute (SEBI) Depok) dan Dr Abdul Sattar Abu Ghuddah MA (anggota Majelis Syariah AAOIFI).
Pembicara berikutnya adalah Prof Dr Muhydin Al Qaradaghi MA (penasihat syariah Bank Qatar), dan Dr Daud Bakar MA (penasihat syariah Bank Negara Malaysia). Peserta adalah perwakilan bank-bank sentral negara-negara Islam yang menjadi anggota di IFSB.
Dr Oni Sahroni mengatakan diskusi tersbeut mengkaji tentang fasilitas untuk mengatasi kekuarangan likuiditas bank-bank syariah melalui peran bank sentral sebagai Lender of The Last Resort (LoLR).
“Karena fasilitas yang berlaku saat ini adalah pinjaman berbunga yang diharamkan menurut syariah, maka pertemuan ini mengkaji alternatif fasilitas yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah,” ujar Oni Sahroni kepada Republika, Sabtu (14/11).
Oni mengemukakan, diskusi itu menegaskan bahwa fasilitas Lender of The Last Resort (LoLR) yang digunakan saat ini tidak sesuai dengan prinsip syariah. “Hal itu, karena pinjaman berbasis bunga dan tidak sesuai dengan karakter bank syariah,” ujar alumnus Al-Azhar University Kairo Mesir itu.
Oni menambahkan, diskusi tersebut mengusulkan beberapa alternatif fasilitas agar terhindar dari keharaman. Pertama, Repo SBSN repurchase agreement (repo) surat berharga, yaitu transaksi Repo SBSN dilakukan dengan akad al-bai' ma 'a al-wa'd bi al-syira '.
“Maksudnya akad al bai’ (jual beli) yang disertai dengan al wa’ad (janji) oleh Bank kepada Bank Indonesia untuk membeli kembali SBSN dalam jangka waktu dan harga tertentu yang disepakati,” kata pakar fiqih muamalah itu.
Alternatif kedua adalah akad mudharabah yang dilakukan secara harian. “Alternatif ketiga adalah akad tabarru seperti yang berlaku dalam asuransi, dan fasilitas-fasilitas lain,” papar Dr Oni Sahroni.