REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembiayaan perbankan syariah masih didominasi akad murabahah (jual beli) dibanding akad bagi hasil, seperti mudharabah dan musyakarah. Untuk mendorong pembiayaan mudhabarah, regulator harus memberi insentif perbankan syariah.
Rektor Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Tazkia M Syafi'i Antonio mengatakan, tidak insentif apa pun dari Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bagi bank yang melakukan pembiayaan mudharabah dan musyarakah.
''Beri insentif, misalnya, insentif giro wajib minimum (GWM) untuk bank yang melakukan pembiayaan mudharabah sekian persen dari total pembiayaan,'' kata Syafi'i kepada Republika, pekan kemarin.
Di awal, bank syariah bisa memulai dari pembiayaan murabahah. Nasabah perbankan memiliki kecenderungan risiko masing-masing. Nantinya, untuk nasabah yang perilakunya baik, bisa ditawarkan pembiayaan mudharabah.
Guru Besar IPB Didin Hafidhuddin mengakui, penggunaan akad mudharabah masih sedikit. Pembiayaan murabahah dan mudharabah sama-sama halal.
Murabahah dipandang lebih mudah karena jelas pembagian besar pengembalian pembiayaannya. ''Tapi, produk perbankan syariah tidak cuma itu. Harus bervariasi dengan tetap hati-hati tentunya,'' ungkap Didin.
Persoalan perbankan syariah bukan hanya soal untung rugi, tapi lebih dalam, mengubah perilaku. Mudharabah tidak akan berhasil tanpa kejujuran. Karena itu, butuh ditekankan, perbankan syariah bukan soal uang, tapi juga perilaku.
''Kita selalu orientasi hasil saja, padahal juga proses penting. Bunga itu instan, tapi perilakunya tidak baik. Sehingga, hasilnya juga tidak bagus,'' tutur Didin.
Ia berharap, semoga dalam lima tahun lagi, musyarakah dan mudharabah bisa lebih banyak digunakan.
Per Juni 2015, OJK mencatat, pembiayaan BUS dan UUS untuk akad mudharabah sebesar Rp 14,9 triliun, musyarakah Rp 54 triliun, dan murabahah Rp 117,8 triliun. Total pembiayaan BUS dan UUS sebesar Rp 203,894 tiliun.