Rabu 04 Nov 2015 05:14 WIB
Laporan dari WIEF ke-11 Malaysia

IDB: Konflik Hambat Laju Ekonomi Negara Islam

Sejumlah petinggi negara hadir dalam WIEF ke-11 Kuala Lumpur, Malaysia
Foto: WIEF ke-11
Sejumlah petinggi negara hadir dalam WIEF ke-11 Kuala Lumpur, Malaysia

REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR— Konflik menjadi salah satu faktor penghambat investasi dan perkembangan ekonomi di negara-negara berkembang Islam.

 

Presiden Islamic Development Bank Ahmed Mohamed Ali, mengatakan faktor ini menduduki 60 persen penyebab mengapa negara-negara Islam lambat mendorong perekonomian mereka.

Sebagian besar Timur Tengah menghadapi masa-masa sulit itu. Irak, Suriah, Libya, Mesir, Yaman, dan lainnya. Konflik menyebabkan jutaan rakyat mengungsi. Sebanyak 90 persen dari  60 juta total pengungsi di dunia saat ini, adalah umat Islam.”Negara itu sulit keluar mengatasi krisis,” tuturnya dalam pertemuan kepala negara di arena World Islamic Economic Forum WIEF ke-11 di Kuala Lumpur, Selasa (3/11).

IDB berupaya, ungkap Ahmed, bekerjasama dengan berbagai pihak untuk mengatasi konflik dan menyelesaikan krisis kemanusian akibat perang berdarah tersebut. Dalam waktu dekat, konferensi kemanusiaan internasional kembali digelar di Turki yang mengagendakan resolusi konflik dan pascakonflik.

Di level internasional, IDB mendukung penerapan Sustainable Development Goals (Tujuan-tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs). SDGs yang disepakati oleh 193 anggota Sidang Umum PBB ini menyepakati 17 agenda penting yang ditargetkan tercapai pada 2030. Ini meliputi antara lain pemerataan kesejahteraan, mengatasi kemiskinan, buta aksara, dan pengangguran. 

Pertemuan pemimpin negara-negara Islam di ajang WIEF ke-11 Kuala Lumpur Malaysia ini, menyimpulkan agenda-agenda penting di antaranya penguatan lembaga finansial Islam, mendorong pengembangan usaha kecil menengah dan mikro (UMKM), dan pembiayaan syariah untuk industri-industri kecil menengah tersebut. Hadir dalam pertemuan yang dipimpin oleh Perdana Menteri Malaysia, Sri Mohamad Najib Tun Abdul Razak antara lain Rwanda, Ghana, Kenya, Komboja, dan Gabon.     

  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement