REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dibanding kebijakan ekonomi sebelumnya, paket jilid III dipandang lebih ramah pada sektor industri. Tidak hanya itu, paket yang baru diluncurkan Rabu (7/10) ini cukup mampu membawa angin segar di tengah perekonomian Tanah Air yang sedang lesu.
Meski begitu, bukan berarti paket jilid I dan II tidak penting. "Hanya saja perekonomian membutuhkan amunisi dari pemerintah yang lebih konkrit di jangka pendek, dan itu terjawab di paket III," kata Direktur Penelitian Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal saat dihubungi Republika.co.id, baru-baru ini.
Di dalam paket ini, kata Faisal, sudah menyentuh biaya produksi terkait dan listrik dan bahan bakar minyak (BBM). Keduanya bisa berdampak langsung pada industri.
Misalnya pada kebijakan pemberian diskon energi 30 persen kepada industri dari malam hingga pagi. "Langkah ini bisa membuat industri padat karya yang tadinya melakukan efisiensi melalui pengurangan jam kerja dapat kembali memperluas kerjanya," ujar Faisal.
Kemudian ada pula kemudahan berupa pembayaran biaya listrik yang bisa dicicil selama enam hingga sepuluh bulan. Diharapkan dengan kemudahan pembayaran tersebut bisa memberi kesempatan pada industri untuk mengambil margin dan membayar kewajiban-kewajibannya. Namun dari item gas, manfaatnya belum bisa dirasakan sekarang mengingat kebijakan itu baru efektif per 1 Januari 2016.
Sementara itu, dampak kebijakan penurunan harga BBM jenis solar tidak seluas listrik dan gas. Pasalnya tingkat penurunan harganya kecil, yakni Rp 200. "Ini tidak terlalu banyak membantu biaya produksi ataupun membantu menurunkan beban biaya hidup konsumen secara langsung," ucapnya. Meski begitu bagi industri yang pemakaian volume solarnya besar tetap dapat merasakan dampak signifikan.
Menurut Faisal, harusnya penurunan harga BBM lebih besar dari yang ditetapkan sekarang. Apabila penurunannya lebih dari Rp 500, maka pengaruhnya akan jauh lebih signifikan. "Kalau hanya Rp 100 atau Rp 200, manfaatnya tidak lebih besar dari penurunan harga listrik dan gas," kata dia.
Meski penurunan harga gas baru direalisasikan tahun depan, industri tidak akan kolaps. "Karena kan masih ada kebijakan lain dari sisi produksi seperti biaya energi," ujar Faisal. Apalagi terhadap industri-industri yang lemah daya saingnya dan sedikit marginnya seperti tekstil dan garmen yang tidak menggunakan terlalu banyak gas. "Mudah-mudahan dampaknya tidak sejauh itu (kolaps)," ucapnya.