REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) diingatkan untuk tidak berpuas diri dulu dengan penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dua hari terakhir. Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Iman Sugema mengatakan, persoalan memburuknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, tak lepas dari kebijakan pemerintahan terdahulu.
"Karena, pada periode pemerintahan sebelumnya, defisit migas dibiarkan terus berlangsung, misalkan mengkonversi bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG), tapi dari 2001 ke 2014 jumlah SPBG yang dibangun tak lebih dari 10 unit," ujarnya dalam diskusi Bisnis dan Ekonomi Politik di Kantor Indef, Jakarta, Rabu (7/10).
Sedangkan jumlah SPBU yang ada saat ini mencapai 5 ribu unit. "Kalau ingin masalah ini selesai dalam sisa pemerintahan Jokowi harus cepat, misal dalam 4 tahun mendatang misal harus terbangun seribu SPBG. Itu baru ada dampaknya," lanjutnya.
Disinggung soal program pembangkit listrik 35 ribu megawatt (mw), ia menilai hal tersebut langkah yang baik, namun harus dilaksanakan dengan upaya yang sangat besar. "Belum ada satu pun yang ditandatangani kontraknya sampai hari ini, jadi kita masih was-was juga," ujarnya.
Jika sampai 2016 belum juga ditandatangani, berarti target akan meleset dan otomatis neraca migas dalam negeri akan membengkak. Selain itu, produksi minyak Indonesia yang terus menurun, sedangkan konsumsi terus meningjat, akan berakibat pada semakin defisit dari sisi migas.
"Melihat hal itu, kita tak boleh berpuas diri kalau tiba-tiba kemarin (rupiah) agak turun sedikit ke level Rp 14.100," katanya menegaskan.