Selasa 06 Oct 2015 15:10 WIB

Soal Harga BBM, Pertamina: Kita Ikut Pemerintah Saja

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Petugas sedang mengisi BBM pada kendaraan di Stasiun Pengisian Bensin Umum (SPBU), Jakarta, Senin (5/10).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Petugas sedang mengisi BBM pada kendaraan di Stasiun Pengisian Bensin Umum (SPBU), Jakarta, Senin (5/10).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG -- PT Pertamina (persero) mengaku siap menerima dan menjalankan apapun putusan pemerintah nantinya terkait penyesuaian kembali harga bahan bakar minyak (BBM). Hal ini setelah Presiden Joko Widodo meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama dengan Pertamina untuk menghitung lagi harga BBM, berkaca pada kondisi ekonomi yang lesu.

Senior VP Pemasaran dan Distribusi Pertamina Iskandar menyebutkan, korporasi telah menyerahkan hasil kajian kepada pemerintah dan tengah menunggu kebijakan dari pusat.

"Jadi kita nunggu saja. Ini kan kebijakan pemerintah. Pertamina kan ikut pemerintah saja," jelas Iskandar usai peresmian uji pasar Pertalite di Lampung, Selasa (6/10). Pernyataan Iskandar ini juga semakin mendukung usulan Pertamina untuk menurunkan harga BBM, namun didampingi dengan insentif pajak dari pemerintah, terlebih adanya pembebasan pajak.

Iskandar mengatakan, Pertamina berharap kalaupun tidak bisa dibebaskan seluruhnya, minimal ada pengurangan pajak. Misalnya, PBBKB yang harusnya 5 persen menjadi hanya 2 persen.

Berkurangnya penerimaan negara, menurut Iskandar tidak layak menjadi alasan pemerintah untuk menolak alternatif solusi ini. Sebab, katanya, pemerintah telah mendapat ruang fiskal ratusan triliun lebih lebar dari penghapusan subsidi BBM.

"Masak Pertamina harus menyubsidi pemerintah," kata dia.

Padahal sebelumnya Pertamina beberapa kali merilis ke media bahwa defisit yang ditanggung Pertamina dari distribusi Premium justru terus meningkat, dari angka kerugian Rp 12 triliun pada Juni menjadi Rp 15,2 triliun pada Agustus 2015.

Hanya saja, Iskandar menegaskan, dihapuskannya PPN dan PBBKB takkan membuat harga premium otomatis turun menjadi Rp 6.500 per liter, seperti yang diharapkan masyarakat. Angka ini juga sempat dirilis oleh semua lembaga independen kemarin di Jakarta.

"Enggak benar itu. Kan itu hitungan tadi tidak benar. Yang dia hitung kan crude, bukan harga produk," jelas Iskandar.

Padahal, kata Iskandar, harga patokan produk beroktan 88 di pasar dunia, tidak turun seperti harga minyak mentahnya.

"Di internasional itu ada publikasi crude dan publikasi produk juga ada. Nah pengamat tidak pernah melihat publikasi produk itu. Publikasi produk ini Premium enggak turun lho walaupun minyak mentahnya turun," lanjut Iskandar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement