Rabu 23 Sep 2015 15:45 WIB

Industri Logistik Terbebani Biaya Pungutan

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Ekspor Semester Pertama. Aktifitas bongkar muat peti kemas saat pagi di Jakarta International Container Terminal, Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (24/7).
Foto: Republika/ Wihdan
Ekspor Semester Pertama. Aktifitas bongkar muat peti kemas saat pagi di Jakarta International Container Terminal, Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (24/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua  Assosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldy Masita mengatakan, selain pelemahan rupiah biaya pungutan lain juga mempengaruhi mahalnya ongkos logistik. Misalnya saja, cost recovery di Pelabuhan Tanjung Priok dan regulated agent yang diterapkan di bandara.

Zaldi menjelaskan, cost recovery di Pelabuhan Tanjung Priok besarnya yakni Rp 80 ribu per kontainer dan sudah mulai berlaku sejak dua tahun lalu. Cost recovery tersebut berlaku untuk ekspor maupun impor. Melihat banyaknya volume ekspor impor yang terjadi di Tanjung Priok, maka diperkirakan cost recovery yang terkumpul sudah mencapai Rp. 500 miliar.

"Sebenernya cost recovery itu gak ada dasar hukumnya dan kita minta pemerintah terkait untuk mencabut regulasi tersebut," ujar Zaldi di Jakarta, Rabu (23/9).

Selain itu, aturan regulated agent juga menyebabkan biaya logistik membengkak. Menurut Zaldi, peraturan regulated agent memiliki tujuan yang baik yakni untuk safety dan security, namun hal ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk menaikan biaya kargo.

Zaldi mengatakan, pada masa krisis ini seharusnya pungutan-pungutan tersebut dihapuskan karena membebani biaya logistik dan transportasi."Kalau bisa dihapus saja, karena gak ada efeknya," kata Zaldi.

Pelaku industri meminta kepada pemerintah agar ada regulasi yang nyata dan mendukung industri logistik. Pasalnya, industri logistik memiliki peran strategis dalam pembangunan infrastruktur dan perekonomian nasional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement