REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowadojo mengatakan permasalahan struktural Indonesia adalah impor yang lebih besar dari ekspor.
Selain itu, ia menambahkan, saat ini terjadi penurunan aliran dana yang masuk ke Indonesia dari Rp 170 triliun pada Januari-September 2014 menjadi Rp 40 triliun pada Januari-September 2015.
Untuk menjaga stabilitas nilai tukar, ia menjelaskan, BI tidak bisa sendiri, melainkan harus bersama-sama permerintah dan pengusaha. Karena instrumen BI hanya tingkat bunga, nilai tukar, dan cadangan devisa.
Sementara instrumen makroprudensial dampaknya tidak akan langsung. Selain itu, juga harus didukung penggunaan rupiah untuk transaksi di dalam negeri sesuai undang-undang. Transaksi dengan valas di dalam negeri juga membuat sensitivitas nilai tukar tinggi dan memperbesar defisit neraca transaksi berjalan.
Selain itu mendorong perbaikan struktural, dengan beralih dari konsumsi menjadi produksi, serta menjadi negara yang dominan pada ekspor bukan lagi impor.
"Stance Bank Indonesia dalam menjaga policy rate tetap sama karena kondisi dunia penuh ketidakpastian dan lebih buruk daripada sebelumnya," ujarnya.
Terkait kebijakan the Fed menahan suku bunga, karena AS melihat kondisi ekonomi dunia tidak terlalu baik sehingga suku bunga tidak dinaikkan. Keputusan tersebut dipastikan berdampak kepada pasar.
Namun, reaksi pasar berbeda-beda, ada yang menunjukkan penguatan karena merasa ekonomi AS dan nilai tukar AS tidak jadi menguat seperti yang diperkirakan. Tapi untuk negara berkembangan tetap ada tekanan. Sebab, ekonomi negara berkembang terpengaruh harga komoditi yang masih turun dan pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat.
Meski demikian, secara umum fundamental Indonesia dinilai mengarah ke kondisi yang baik. Indikatornya, inflasi yang terkendali, dan diproyeksikan menuju target 4 plus minus 1 persen.
Neraca transaksi berjalan meskipun defisit menuju kondisi lebih sehat dari sebelumnya dari minus 4 persen pada kuartal kedua 2014 menjadi minus 2 persen pada kuartal II-2015.
"Saya lihat tentu akan berdampak pada nilai tukar. Dan nilai tukar selama di Indonesia masih ada defisit transaksi berjalan, masih ada penggunaan rupiah yang belum meluas di Indonesia, dan masih ada kewajiban yang mesti dibayar karena ada hutang yang jatuh waktu, itu akan ada tekanan terhadap rupiah, termasuk pasar modal ada dana yang keluar," katanya.